Mohon tunggu...
Rifdah Awaliyah Zuhroh
Rifdah Awaliyah Zuhroh Mohon Tunggu... Guru - Guru - Bookstagram

Kadang-kadang ngajar, kadang-kadang nulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ledakan Khas Leila

12 Juni 2023   21:42 Diperbarui: 12 Juni 2023   22:15 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Buku

Kumpulan Cerpen "Malam Terakhir"

Identitas buku

Judul               : MALAM TERAKHIR

Pengarang       : LEILA S. CHUDORI

Penerbit           : KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA (KPG)

Tebal buku      : 117 HALAMAN

Cetakan           : CETAKAN KEEMPAT, JANUARI 2017

Selayang Pandang

Leila S. Chudori yang terkenal sebagai penulis Novel Laut Bercerita memiliki masterpiece lain. Adalah buku kumpulan cerpen "Malam Terakhir" yang menunjukkan sisi lain Leila. Malam Terakhir sesuai dengan apa yang Ia utarakan pada kolom ucapan terimakasih; menyediakan ruang yang sempit untuk ledakan yang dahsyat.

Malam Terakhir terdiri dari 9 cerita pendek dan saya jatuh cinta pada ledakan di cerpen terakhir. Cerpen itu berjudul sama dengan bukunya dan saya harus berhenti beberapa jam untuk menghilangkan perasaan marah, sesak sekaligus nyeri pada plot cerita yang digunakan Leila. Cerpen itu berkisah tentang penangkapan aktivis dan penyiksaannya pada malam terakhir sebelum diberikan hukuman mati.

Isi Kumpulan Cerpen "Malam Terakhir"

Kedelapan cerpen sebelumnya juga membawa perasaan yang berbeda-beda pada saya.  Leila juga mahir menyelipkan pertanyaan-pertanyaan retoris tentang banyak hal. Pada cerpen berjudul "Paris, Juni 1998" Leila mempertanyakan tentang kebebasan yang begitu diinginkan manusia, namun terkadang membahayakan hidup kita sendiri.

Cerpen kedua --Adila- mewakili ilustrasi pada buku kumpulan cerpen ini. Bercerita seorang anak yang terasingkan dalam kehidupan nyata namun sangat liar di alam imajinasinya. Ia seperti pada umumnya anak kecil, memiliki banyak pertanyaan aneh yang tidak mampu dijawab oleh orangtuanya. Ayah ibunya tidak berusaha menjawab, justru sibuk  meminta Adila untuk menjadi normal seperti anak seumurannya.

Cerpen "Air Suci Sita" juga dengan mudah mencuri perhatian. Cerpen ini adalah tanggapan Leila pada Epos Ramayana. Leila bertanya mengapa hanya kesucian perempuan yang dipertanyakan. Bukankah kesucian lelaki juga sah-sah saja disangsikan? Leila berhasil menyadarkan kita untuk bersama-sama merobohkan kekuatan patriarki pada cerita yang mendarah daging pada masyarakat kita.

Cerpen ketiga berjudul "Sehelai Pakaian Hitam" bercerita tentang seseorang yang memutuskan bunuh diri karena tidak kuat dengan persepsi masyarakat tentang dirinya. Ia memiliki dua karakter berbeda, saat pagi baik dan suci seperti keinginan masyarakat, namun saat malam menjadi sebaliknya. Ia terlalu membuat garis tegas antara malaikat dan setan dalam dirinya, sehingga tidak menjadi sosok manusia yang utuh.

Cerita keempat adalah "Untuk Bapak." Seperti judulnya, cerpen ini bercerita seorang anak yang ditinggal mati bapaknya. Sang anak mengagumi semua laku bapaknya, terutama pada kegagahan dalam menjaga keluarganya. Tema cerpen ini sekilas terdengar klise, namun Leila mampu membawa warna baru pada penyampaian cerita serta metafora yang digunakan.

Cerpen kelima --Keats- bercerita tentang seorang perempuan yang ingin lepas dari tuntutan masa depan dari keluarganya. Separuh bagian cerpen ini digambarkan dengan khayalan, namun Leila sangat mahir menyusunnya menjadi satu bagian yang rapi dan menawan. Pemilihan diksi yang pas mampu membawa pembaca menyelami imajinasi penulis dengan baik.

Cerpen keenam berjudul "Ilona" menceritakan seorang perempuan dengan keraguannya untuk menikah. Ia akhirnya memilih tidak menikah. Sudut pandang tokoh tidak berasal dari perempuan, melainkan dari ayah sang perempuan yang menginginkan cucu. Keraguan anak tersebut juga berasal dari orangtuanya sendiri yang bertengkar dan berpisah saat ia masih kecil. Ide cerita tersebut cukup relevan dengan kehidupan perempuan Indonesia akhir-akhir ini.

Cerpen ketujuh adalah "Sepasang Mata Menatap Rain." Cerita ini sepertinya terinspirasi dari kisah nyata yang dibumbui oleh idiom dan metafor bernuansa falsafi. Bermula dari seorang anak yang menemukan anak pengamen dengan mata yang sendu. Anak tersebut bersikukuh membantu pengamen namun ia kehilangan jejaknya. Cerita ini menggunakan gaya open ending sehingga pembaca harus menerka sendiri apa yang terjadi setelah cerita usai.

Kelebihan & Kelemahan

Bahasa yang ringan dan gaya bercerita yang mudah dipahami menjadi daya tarik buku ini. Saya secara sukarela mengikuti imajinasi dan khayalan penulis tentang tema cerpen yang dituliskan. Keunikan Leila yang lain adalah kegemarannya menggunakan metafora cerita wayang. Ia membawa cerita wayang dan menjahitnya menjadi relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Hal itu memikat hati pembaca seperti saya yang awam tentang dunia wayang.

Biasanya, saya menutup resensi dengan beberapa kekurangan buku. Kali ini saya tidak bisa menuliskannya, karena tidak menemukannya pada Kumpulan Cerpen 'Malam Terakhir' karya Leila S. Chudori ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun