Saya adalah seorang anak laki-laki yang terlahir di dunia berkat kisah cinta antara sepasang manusia bernama Wahjoedi Setiawan dan seorang wanita cantik bernama Sri Rahmayani. Melalui berbagai perjalanan rumah tangga yang mereka hadapi akhirnya pada tanggal 31 maret 1995 keluarga kecil itu kembali dianugerahi seorang anak laki laki setelah 4 tahun sebelumnya mereka telah memiliki buah hati bernama Reza Rahmadi. Sejak lahir kedua orang tua saya telah menghadiahkan sebuah nama yang cukup panjang untuk dituliskan dalam lembar jawaban saat ujian dibangku sekolah. Nama itu adalah Arief Dwi Rifchy Rahmadi, semua kata dalam nama itu barangkali dulunya merupakan sebuah doa yang diberikan pada diri saya agar ketika orang lain menyebut nama itu secara tidak langsung mereka telah memanjatkan doa kepada tuhan untuk saya.
Tak ada yang abadi, seperti bait dari tembang grup band Peterpan (Noah) yang cukup populer dimasanya begitu pula perjalanan kehidupan ini. Keluarga harmonis yang didambakan oleh semua orang yang membina rumah tangga, seperti yang dibina oleh kedua orang tua saya kala itu ternyata tidaklah abadi. Disaat seorang bocah kecil masih membutuhkan belaian dan kasih sayang dari kedua orang tua yang utuh, sebuah keluarga kecil harus terpecah karena adanya sebuah konflik internal yang dikatakan oleh para orang tua tidak dapat diselesaikan lagi. Dampaknya, seorang anak laki-laki dan saudaranya terpaksa memilih untuk menjalani hidup tanpa ayah dan tentu saja tanpa kebijaksanaan seorang imam keluarga.
Namun hidup harus terus berjalan, berbagai kota disinggahi sebagai wadah hijrah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dan mengikuti sunah rasulullah sebagai perjalanan mencari ridho ilahi. Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, kembali lagi ke Samarinda dan akhirnya menetap di sebuah kecamatan yang kebanyakan orang menganggapnya adalah sebuah kota yakni Tenggarong. Menghabiskan masa kecil layaknya anak kecil lain di tempat berjuluk kota raja itu merupakan kenangan yang tidak dapat dilupakan.
Melanjutkan sekolah di SDN 002 Tenggarong setelah sebelumnya bersekolah di SDN 009 samarinda saya memiliki prestasi yang dapat memberi sedikit rasa bangga kepada orang tua dengan mempertahankan peringkat 3 besar hingga lulus bangku sekolah dasar. Di sekolah penuh kenangan inilah saya bertemu dengan rekan sepanjang masa saya yang telah bermitra lebih dari separuh jumlah usia kami saat ini. Andi nama sapaannya, pria tambun yang terlelap saat pembagian huruf  R ini merupakan sabahat yang telah setia berkawan dan menerima banyak kekurangan saya lebih dari 13 tahun. Pria yang diberi julukan panda ini  merupakan salah satu wadah bagi saya untuk mengutarakan keluh kesah dalam menjalani berbagai problema kehidupan.
Tidak hanya sebagai tempat perjumpaan pertama kali dengan Andi, SDN 002 juga merupakan gerbang pembuka perjumpaan saya dengan wanita pendamping hidup saya saat ini. Gadis manis bernama Miftahul Janah itu pertama kali saya temui saat duduk di kelas 4 sekolah dasar. Sayangnya tidak banyak ingatan yang muncul di pikiran saya mengenai kenangan bersama gadis kriting itu, karena kala itu saya memang tidak terlalu mengenal dirinya dan tidak terlalu bergaul dengan dirinya. Bahkan ketika saya bertanya kepadanya apakah dia memiliki sekelebat ingatan tentang saya di masa SD, Janah menjawab bahwa dia hanya mengingat nama saya tanpa sedikit pun ingatan mengenai wajah seorang Arief Dwi Rifchy Rahmadi.
Setelah 5 tahun bersekolah di SDN 002 tenggarong, saya berhasil lulus dari bangku sekolah dasar dengan membawa sejuta kenangan zaman SD untuk menuju jenjang penddikan yang lebih tinggi yakni sekolah menengah pertama (SMP). Saya berhasil masuk sebuah SMP unggulan di kota raja kala itu yakni SMP Negeri 1 Tenggarong, sebuah sekolah yang menjadi sasaran banyak siswa setiap tahunnya dan memiliki persaingan cukup ketat didalamnya. Namun bukan hanya kenangan mengenai beragam aktivitas mengenai buku cetak dan buku tulis yang saya dapat selama bersekolah disana tapi juga cinta monyet. Cinta monyet, banyak orang yang mengatakan hal itu jika mendengar kisah pertemuan saya dengan seorang gadis yang berhasil memikat hati saya untuk pertama kalinya. Sebut saja namanya mantan, seorang gadis manis yang menjadi rebutan para anak laki-laki dikelas saya kala itu.
Saat awal saya mengenal mantan bukanlah rasa suka yang saya  rasakan pertama kali melainkan rasa benci karena ia sempat mengambil posisi duduk terdepan yang saya miliki kala  itu, maklum masa itu adalah masa dimana seorang anak memiliki emosi yang sangat labil. Seiring berjalannya waktu, perasaan benci tersebut berubah menjadi cinta monyet yang menurut saya cinta monyet paling manusiawi yang pernah ada. Cerita cinta monyet itupun terbawa hingga lulus sekolah menengah atas.
Lulus dengan nilai yang cukup memuaskan saya melanjutkan perjalanan meraih masa depan ke jenjang yang lebih tinggi yakni Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tenggarong. Masa putih abu-abu inilah yang masih terang di ingatan saya saat ini, Tentu saja masih jelas teringat karena maasa itu baru saja terlewati sekitar tiga tahun lalu. Dengan beragam cerita  persahabat, percintaan, dan prestasi yang mewarnai perjalanan saya kala itu.
Kisah persahabatan dengan seorang rekan bernama Tejo adalah cerita perjalanan yang  mesti saya ceritakan kepada semua orang di dunia. Bernama lengkap Tejo Sakti Wicaksono, pria yang saya rasa sedikit oon ini adalah seorang sahabat yang dulunya mampu menerima saya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang saya miliki. Orang inilah yang dulunya jadi sumber makan siang saya ketika duduk di bangku SMA dulu.  Namun sudah beberapa tahun ini, pria pemilik nama yang berarti pelangi itu tak ada kabarnya lagi.
Tidak hanya kisah persahabatan yang saya temui di masa jaya putih abu-abu, kisah percintaan bersama mantan pacar yang kini telah saya persunting juga menjadi kisah tak terlupakan zaman SMA. 4 tahun berpacaran sejak duduk di kelas 2 SMA akhirnya kami memutuskan naik ke pelaminan tepat tanggal 1 maret 2015 lalu. Saat memutuskan menikah di usia muda tentu saja banyak selentingan kabar negatif yang terdengar di telinga saya dan calon istri kala itu. Namun dengan langkah pasti dan mengharap ridho ilahi kami mantap menuju ke kehidupan baru dan membina rumah tangga di masa muda.
Kami memilih jalan untuk berpacaran setelah menikah dan menunda memiliki momongan agar kami dapat menikmati indahnya masa-masa kasmaran sebagai sepasang kekasih yang halal. Hingga setahun pernikahan berjalan kami merasa lebih tentram dan damai tanpa ada cibiran seperti ketika menjadi muda-mudi yang di mabuk asmara. Kami juga membuktikan bahwa pernikahan bukanlah halangan untuk meraih mimpi menjadi seorang sarjana. Semoga perjalanan hidup ini akan menjadi sebuah cerita indah untuk dibagi kepada anak cucu di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H