Secara Teologi, kereta mewakili faham fatalisme (jabariyyah) yang cukup sempurna. Kereta bergerak dan berhenti pada jalur, tempat, dan waktu yang terpola. Kita tidak bisa mengendalikan perjalanannya sesuai kehendak kita.
Cinta merupakan pembicaraan yang selalu bersifat kontroversial, inspiratif dan aktual. Persoalan cinta sepertinya semua orang pernah membicarakan tentang cinta baik dewasa atau remaja, miskin atau kaya, dimabuk cinta atau gagal cinta. Secara keilmuan, cinta banyak dibicarakan oleh para pakar keilmuan. Seperti psikologi, seniman, agamawan dan filosofÂ
Menurut Ibnu Arobi, Cinta itu logis secara arti walaupun tidak dapat didefinisikan. Cinta dapat dipahami dengan rasa (perception) tanpa ketidaktahuan.
Kaitannya dengan cinta, sepertinya kita suka berpikir bahwa hidup kita akan terlihat seperti jalur kereta yang panjang, mulus, dan tidak terputus yang terbentang di depan (utopia). Padahal, jalur kereta selalu beriringan dengan terowongan gelap gulita (distopia).
Kemudian, Stasiun melambangkan bahwa seseorang dapat pergi dari satu titik ke titik lain, kemudian berlalu. Seperti itulah Cinta, kita dipertemukan di stasiun A, kita tidak tahu siapa yang akan turun terlebih dahulu di stasiun B. Sebab, pertemuan ini dirancang untuk temporal kronikal, bukan abadi.
Sebagai dramatisasi petualangan spiritual dan emosional, kereta menyediakan ruang yang tepat untuk bermeditasi dan berkontemplasi tentang hakikat perjalan hidup kita. Bagi Michael Foucault, kereta merupakan heteropia. Ada ruang lain antara utopia dan distopia.
Bila tiba waktunya, naik kereta harus siap turun, seperti halnya perjalanan cinta, harus siap BERAKHIR.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H