Saya mempunyai seorang sahabat lama, digelari Piet Bemo. Saya sebut digelari, sebab nama pemberian orangtuanya---sekaligus mengorbankan dua ekor domba---sesungguhnya jauh dari kesan nyeleneh; Piet Rahmad Sijunjung. Ayahnya asal Sijunjung Sumatera Barat. Penambahan kata bemo itu, bukan tanpa sebab. Â Kau bisa saja menebak ayahnya juragan bemo. Tebakanmu itu tentu salah. Sepertinya di Sijunjung tak ada kendaraan bernama bemo, melainkan sado. Masa muda ayahnya pernah menjadi kusir sado di Solok. Sedangkan terjemahan kata bemo itu, semata-mata karena Piet tak bisa mingkem. Kau tahu sendirilah maksud saya, jadi tak perlu dijelaskan.
Piet Bemo itu orang yang supel, meski terkesan lucu. Dari ibu kantin sampai kepala sekolah, kenal dekat pria satu ini. Selain karena pintar melucu, dia juga jago merayu ibu kantin agar sering-sering diutangi lotong. Sementara kedekatannya dengan kepala sekolah, selain pintar melucu tadi, dia loyal untuk dihukum, karena suka terlambat masuk sekolah, suka tidak mengerjakan peer, bahkan hobi menguncir rambut.
Akan tetapi, setiap hukuman dijalaninya tanpa membantah, Â kendati harus membersihkan wc yang baunya kayak walang sangit.Â
Pokoknya, semua dekat dengan kawan satu ini. Apalagi kami, kawan sekelasnya. Kalau ada peer, kami menyuruh Piet melucu di depan kelas. Hasilnya, guru lupa masalah peer, lalu dia menyuruh kami mencatat pelajaran yang ditulis sekretaris di papan tulis.Â
Piet ini orang yang aneh urusan penampilan.Selalu outdate. Saat orang lain mulai mengenakan celana kuncup, dia bela-belain menempa cutbray. Persis sapu jalan. Ketika anak-anak lain mulai ngebaggy, dia malahan mengenakan celana kuncup sekali, hingga harus diberi risleting dari mata kaki hingga ke lutut.
Setamat SMA, kami berpisah. Dia bersama keluarganya pindah kembali ke Sijunjung, sementara saya meneruskan usaha gilingan padi mendiang ayah. Kami pun kehilangan kontak. Hingga tetiba sepuluh tahun terlewati, ada berita heboh saya dapatkan di lepau Matdirin. Apalagi kalau bukan si Piet Bemo akan berkunjung ke kampung kami.
"Ah, yang benar kau, Saf. Kau jangan berbohong," kata saya kepada Safrudin yang kali ini menjadi pusat perhatian.
"Mana mungkinlah saya bohong. Pak Mirdan bertemu dia di Bandara Tabing. Pak Mirdan saja, kalau bukan disapa, tak kenal kalau dia itu si Piet. Amit-amitlah."
"Amit-amit tambah jelek, ya," timpal Salokot bercanda.
"Bukan! Amit-amit kerennya. Bemonya tak ada lagi. Maksud saya mulutnya mulus. Tampan. Kulitnya putih kinclong. Rambutnya agak ikal. Mengenai postur tubuh, stereglah."
Apa sehebat itu perubahannya? Saya kagum juga kalau orang selucu dia, bisa menjelma orang terkeren se-Sijunjung. Kendati saya tetap berharap, hanya chasingnya yang berganti, tapi isinya tetap yang dulu. Piet tanpa neko-neko.
Tapi ada sas-sus yang tidak mengenakkan saya dapat dari Pak Mirdan. Piet yang sekarang bukanlah Piet yang dulu. Dia memang tidak somong. Hanya saja ada yang sangat berbeda dari tingkahnya. Entah apa itu. Pak Mirdan mengatakan bahwa saya bisa membuktikannya sendiri.
Maka di Sabtu Sore, seorang pria gagah berani, muncul di halaman rumah saya. Anak-anak merubunginya seolah artis ibukota. Dia-kah si Piet? Ah, mustahil sekali! Tapi ketika dia merangkul saya, seketika kami menjadi akrab. Saya bawa oleh-olehnya yang  berat.
Sebelum dia datang, saya juga sudah mewanti-wanti istri menyaipkan makanan kesukaan Piet; daun ubi tumbuk, sambal tuk tuk, jengkol dan petai, plus sambal belut salai yang digoreng garing. Tapi tahukah kau ketika saya mengajaknya duduk di meja makan? Rasanya saya ingin tonjok wajahnya hingga berbentuk bemo.Â
Dia protes melihat makanan di atas meja, lalu menyebutkan beragam makanan yang asing ditelinga saya, mulai dari; onigiri, tempura, sushi, sashimi, shabu-shabu, sukiyaki, udon (setahu saya udon itu tempat memasak nasi) Â dan ramen.
"Kalau makan makanan ini, saya bisa sakit perut," protesnya. Darah saya mendidih. Tambah mendidih lagi ketika dia meminta air hangat untuk mandi karena dia tak terbiasa udara di kampung. Sebab bekerja di Jepang, jadi dia agak risih dengan hal-hal yang berbau kampung.
Saya berbisik kepada istri saat si Piet sedang mandi. "Usir saja blasteran Jepang itu dari rumah kita, Dek."
"Hus!" Istri mendelik.
Selesai mandi, tanpa diminta, Piet menawarkan diri menginap di rumah saya. "Ya, dan kalian mesti berterima kasih karena bintang film Jepang sudah sudi menginap di rumah kalian."Â
Oh ya, sebelum saya lupa, pekerjaan Piet di Jepang sana adalah seorang bintang film. Tapi lakunya di rumah kami ibarat binatang film. Hingga mau tidur saja permintaannya macam-macam. Cukup sudah!
Saking kesalnya, saya menjotos mulutnya. Ajaib, mulutnya berobah bemo kayak dulu. Saya kucek-kucek mata. Ternyata saya hanya bermimpi. Sialan!
Tapi ya, Tuhan. Kenapa pria Piet tadi menjadi berwajah bemo? Saya amat kebingungan. Bertambah kebingungan lagi ketika orang yang berbaring di sebelah saya mengatakan bahwa dialah Piet Bemo asli. Kau pasti bingung juga kenapa bisa begitu, kan?
Dasar Bemo suka nyerempet! Pria tampan yang mengaku Piet Bemo tadi, seorang sopir carteran dari Tabing ke Kotanopan. Sekarang dia terpingkal-pingkal di ruang tamu.
"Bah! Saya pikir kau operasi plastik."
"Operasi plastik dengan ember? Wajah rusak inilah yang membuat saya kaya di negeri sakura." Dia tertawa. "Dan wajah ini juga yang membuat wanita Jepang tergila-gila."
"Dasar bemo!" Saya ikut tertawa.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H