Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kafe Bebek

24 Oktober 2019   11:50 Diperbarui: 24 Oktober 2019   12:23 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ya, ya. Sekarang saya bekerja menjadi manager di sebuah kafe mentereng di kota ini. Namanya  "Kafe Dursun". Tapi tak pentinglah arti sebuah nama. Kau tak perlu risau menerjemahkan makna di balik itu. Toh tak semua nama harus memiliki arti! Kau hanya harus risau ketika mengetahui titel saya; SKM. Kau bilang Sarjana Kopi Manis. Hahaha, kau bisa saja benar. Tapi kali ini kau melenceng jauh. Kepanjangan titel itu adalah Sarjana Kesehatan Masyarakat. Nah, bingung, kan? Apakah saya harus menerapkan disiplin ilmu saya di sini? Jelas tidak boleh. Saya harus berprinsip bahwa usaha kafe ini harus maju pesat. Penjualan cairan kopi meningkat dari hari ke hari. Itu komitmen saya kepada bos Kafe Dursun.

Bisa saja kalau diterapkan disiplin ilmu saya, maka setiap pengunjung tak boleh minum lebih dua cangkir kopi setap hari. Bukankah ini menjadi penurunan omzet? Sesuai prinsip perkafean,  maka alangkah mujurnya seorang pemilik kafe, bila penggila kopi  memesan kopi paling tidak satu galon per hari. Tidak peduli apakah kopi itu diminum atau hanya untuk cuci muka penghilang ngantuk. Yang penting; hepeng do namangatur negaraon.

Saya juga tak boleh menanyakan apakah seseorang itu sehat saat minum kopi. Atau dia seorang pengidap darah tinggi. Kafe baginya adaah restricted area. Dia lebih cocok minum jus melon, misalnya. Jus melon dengan gula  jagung, agar darah tinggi tidak mengajak temannya si diabet. Kopi juga akan menghambat nafsu tidur. Sementara pantangan berat bagi pengidap darah tinggi adalah tidur kurang dari delapan jam per hari. Dengan kopi tidur bisa kurang dari tujuh jam atau di bawah lima jam per harinya.

Tapi sekali lagi, meski saya adalah sosok the wrong man in the wrong place, tapi kalau dompet tebal tidak masalah. Bekerja di kafe itu menyehatkan. Terutama menyehatkan dompet. Selebihnya menyehatkan mata karena begitu banyak pelanggan perempuan yang bening-bening berseliweran. Termasuk Mince, perempuan berleher tinggi seperti jerapah, yang sekarang sedang menikmati secangkir thai green tea chatramue. Bibir saja belibet mengucapkannya. Apalagi rasanya, mungkin lebih belibet dari itu. Hanya saja jangan pernah mengatakan wajah Mince belibet. Sekarang saya sedang melakukan penjajagan. Semoga saya bisa menumbuhkan cinta di hatinya, yang semoga juga belum berlumut.

"Suka berkunjung ya ke kafe ini." Saya berbasa-basi dengan mulut basi karena kebanyakan makan kabau tadi pagi.

Mince menaikkan kakinya ke atas kursi. Saya jelalatan melihat sekeliling. Mince ini tak tau aturan. Memesan teh di tempat berjualan kopi. Tapi ini kesalahan bos saya, orangnya sedikit, yah, rakus. Tapi bukankah mengangkat kaki ke kursi itu tradisi kedai kopi? Mince ada-ada saja. Terkadang membuat malu, tapi saya cinta atas kesederhanaanya.

"Kamu cantik."

Dia menatap saya. "Cantik itu sebangsa makanan?"

"Sebangsa kamu."

"Ya, bolehlah."

"Bolehkah saya bilang..." suara saya tercekat.

"Saya cinta kamu?"  potongnya. "Patut dipikirkan."

Dan kami tertawa. Para pelanggan menatap tak senang. Saya merasa bersalah. Mince tak perduli. Dia malahan mencangkung. "Biar yang masuk mudah keluar," katanya.

"Ini bukan kakus!"

Dia tertawa. Saya garuk-garuk kepala. Saya tak bisa memarahinya. Dia sangat cantik menurut saya, meski berkesan norak. Dia tiba-tiba mengatakan minumannya seperti sampah. Saya pun meminta kopi tubruk kepunyaan satpam. Sebentar saja kami sudah seperti di area persawahan. Segar dan memesona. Kopi tubruk itu memang ciamik. Lebih ciamik lagi ketika dia pulang, tiga keranjang telor bebek yang manis-manis, membuat saya tersenyum puas. Ayah pasti bangga melihat telor-telor itu. Kelak dia akan mendapat sanjungan dari pelanggan jamu, karena hasil jamu buatan Ayah bisa menembus dinding. Sebenarnya cuma candaan. Ayah pasti beralasan semua itu hasil telor Mince. Eh, maaf, Mince tidak bertelor. Maksud saya, telor bebek milik Mince. Nah, ini sudah sesuai kaedah KBBI.

Hampir sebulan transaksi lancar, baik itu transaksi berupa materi, yaitu uang. Juga transaksi berupa nurani berupa cinta. Dan Mince sepertinya mulai cinta kepada saya. Sebaliknya si bos mulai benci. Hasilnya dia memanggil saya ke ruang kerjanya. Dia mempersilahkan saya duduk. Tanpa banyak bicara, dia mengeluarkan selembar kertas dari laci meja dengan kepala surat  bertuliskan; Surat Peringatan Pertama. Saya malas membacanya.  Dia kemudian mengeluarkan lembar berikutnya; Surat Peringatan Kedua. Saya tak banyak bicara. Begitu dia mengeluarkan lembar ketiga, saya langsung lemas. Apalagi  si bos meletakkan amplop sedikit tebal. Nah, punah! Keringat dingin membanjiri kening saya melihat lembar ketiga, dan sepertinya yang terakhir. Surat Peringatan Ketiga dan Terakhir. Begitu bunyinya.

"Kau dipecat?" Ayah kelihatan terkejut. "Kenapa?" Saya tak mungkin mengatakan karena Mince. Tapi Ayah tak ingin memperpanjang pembicaraan. Cairan obat pahit sudah meletup-letup, mesti diangkat segera.

Saya pun menemui Mince. Peternakan bebeknya lumayan besar. Saya mengatakan telah dipecat dari kafe itu. Dia hanya tertawa. Dia kemudian mengusulkan bagaimana kalau saya membuka kafe di dekat peternakan bebeknya.

"Namanya Kafe Bebek!" Dia menepuk bahu saya.

"Apakah itu tak mustahil?"

Saya bimbang. Mince menepiskan tangan. Katanya setiap usaha harus dicoba. Maka dengan setengah hati,  saya berjualan di dekat peternakan bebek itu. Saya hanya berani memberi nama usaha jualan kopi itu dengan nama Kedai Kopi Amar. Amar itu nama saya. Jujur, Kafe bebek itu tentu saja tidak memiliki nilai jual.

Hasilnya sebulan aku tertatih dan kedaiku hampir bangkrut. Tapi Mince itu agak kurang waras. Dia memodali usaha saya. Sebuah kafe berdinding setengah tepas dan setengahnya plong untuk arus angin keluar masuk, berdirilah di dekat peternakan bebek itu. Dia memasang plang besar bertuliskan Kafe Bebek.

Di sudut kafe berdiri gagah semacam banner menu. Mungkin agak geli membacanya. Banner menu itu sangat berbeda dengan banner menu kafe lain. Tertulis di sana, demikian; Sedia Kopi Tubruk, Telor Dadar Pizza, Mie Goreng Rambut Kusut, dan makanan rebusan, dalam kurung tidak termasuk rebusan daun kates. Mungkin menu itu belum ekstrim. Tapi ini mungkin terasa sekali sebagai menu ekstrim; Sedia  Bermain dengan bebek, Ambil telor bebek, dan Agar bebek sehat dengan pakar terpuji;  Amar, SKB (sarjana kesehatan bebek).

Tahukah kamu, terkadang sesuatu yang aneh menjadi incaran orang? Memang sehari dua, tak ada pengunjung ke kafe itu. Selewat seminggu, pengunjung mulai berdatangan, ya sambil minum kopi, sambil bercengrama dengan bebek. Mereka tak hanya berpasang-pasangan, juga bersama keluarga. Awalnya mereka datang dengan pakaian necis rapi, pulang-pulang mirip bebek yang habis bermain di kubangan. Tapi ada yang berbeda pula. Awalnya mereka datang dengan wajah seperti kusut dan kotor karena banyak pikiran, pulang-pulang wajah mereka bersih dan kinclong. Sangat bersemangat untuk menghadapi hari esok. Di situlah saya mengagumi cara berpikir Mince yang melawan arus.

Terkadang ketika jenuh dengan rutinitas kehidupan yang monoton, tak ada salahnya, yah, berbuat sedikit gila. Tapi yang terakhir ini saya sebagai tutornya, yakni  menu yang intinya bagaimana agar berhasil beternak bebek yang sehat dan enak.

Oh, ya. Jangan lupa datang ke resepsi pernikahan saya bersama Mince dua hari ke depan. Pokoknya menu yang kami sediakan memuaskan, dan serba bebek. Mulai dari pecel bebek, bebek geprek, bebek kecap dan beragam lagi. Bagi tamu yang semi vegetarian, kami sediakan menu serba telor. Bagi tamu yang full vegetarian, ajukan saja menu permintaan  via telepon Kafe Bebek. Kami harap acara resepsi  ini memuaskan berbagai pihak.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun