Pengujung Agustus, kota di atas bukit batu itu melepuh. Senja merah tak bisa memberinya kesejukan. Debu akhir musim panas, mencakar setiap jendela. Kota seakan mati. Tak ada pejalan kaki. Hanya mobil yang berani menapak  jalan membara.
Omar anggar dada, duduk di kursi kerajaannya. Dia mecungkil  giginya yang jarang, karena daging domba kari itu nakal, bertahan di setiap sela. Mungkin ada empat sela. Dia kesal, betapa alot serpihan daging domba mencengkeram gigi. Apalagi senja ini roti masih menumpuk di etalase berpenutup plastik.
Dia berjalan ke depan tokonya. Membenarkan plang merk yang miring diterabas angin musim panas. Tertulis di situ "Bakery Mardin". Dia menelengkan kepala sambil berpikir. Plang merk itu tidak miring lagi. Tapi berjualan roti memang miring di musim panas. Harusnya nasihat Alv dia dengar. Misalnya, roti dipadukan dengan es krim. Siapa saja akan bergairah melihat makanan dingin segar di saat panas menyengat. Â Hasilnya, Omar memukul pelan pipi Alv. Anak muda itu tidak tahu kalau Omar anti es krim. Sekali saja dia mengicip makanan dingin itu, alamat seharian dia absen berjualan. Bersin terus!
"Tapi bukan Tuan Omar yang memakan es krim," protes Alv. Dia memang penyuka es krim.
"Bagaimana kalau saya ingin mengicipnya?" Omar mencondongkan kepalanya ke wajah Alv. Anak muda itu mendengus, lalu pergi menuju sebuah lorong.
Mengingat kejadian menggelikan itu, Omar menggeleng-geleng, kemudian masuk kembali ke tokonya. Saat itulah dia melihat seorang anak belasan tahun, menjulurkan tangannya ke dalam etalase. Roti keju berlumur coklat berpindah tempat. Emosi Omar membukit. Dia menunjuk anak itu dengan wajah semerah udang. "Tertangkap kau maling cilik!"
Mengingat ke belakang hari, roti Omar memang mulai sering berkurang satu atau dua potong. Meskipun tidak setiap hari, tapi dia merasa amat rugi, apalagi omzet penjualan roti di musim panas turun drastis. Â Pasti ada maling berkeliaran di kotanya. Dia sudah berjaga-jaga beberapa minggu ini, selalu maling itu selicin belut. Senja inilah nasib na'as menimpa maling berambut pirang awut-awutan itu.
Mata maling kecil itu membola. Dia ketakutan. Tapi bukan maling kalau tak bisa berlari secepat kilat. Dia menghilang di lorong. Omar muntab. Dia memanggil anaknya yang sedang asyik bermain gawai. "Tunggu di sini. Babah  akan mengejar maling sialan itu." Ada lenguh penolakan dari mulut anaknya. Omar tak peduli. Dengan beban perut yang besar, dia berlari mengejar maling itu ke lorong. Dia hampir menabrak seorang polisi. Kebetulan sekali!
"Tuan Pol, bantu aku mengejar maling kecil itu," kata Omar terburu. "Maling kecil berambut pirang, kusut dan pasti bau." Polisi mengeluarkan pena dan notes. Dengan cermat dia menulis, seakan dia takut huruf-huruf yang dia tulis akan jatuh ke jalan.
"Umurnya kira-kira berapa?"
Omar menelengkan kepala. "Hmm, mungkin belasan. Tepatnya aku tak tahu!"