Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balasan Setimpal

7 Oktober 2019   12:41 Diperbarui: 7 Oktober 2019   12:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : pixabay/jbauer-fotographie

Aku merasa takut mendengar ucapannya yang pedas. Andaikata aku durhaka lagi kepada kedua orangtua, apa tak mungkin dia membuktikan ucapannya? Berpisah dengan Ishak pasti membuatku sedih setengah mati. Aku sangat mencintainya. Aku berharap kami kelak menjadi keluarga yang sakinah, dan memiliki anak-anak yang soleh dan berbakti kepada orangtua.

Ajaib sekali, sejak itu aku tak lagi durhaka kepada ayah-ibu. Bahkan untuk berbicara sedikit keras, selalu kuhindari. Tiba di masa pernikahanku dengan Ishak, aku meminta maaf kepada mereka setulus-tulusnya. Ya, siapalah orangtua yang tak mau memaafkan anaknya. Ketika aku diboyong Ishak ke kota MM, mereka melepasku berurai air mata.

Aku memulai hidup yang indah dengan Ishak. Alhamdulillah, belum sampai satu setengah tahun, lahirlah anak kami yang pertama, bocah laki-laki tampan dan menggoda. Tiga tahun setelah itu, menyusul bocah laki-laki, yang juga tampan dan menggoda seperti abangnya.

Betapa kurasakan dunia berpihak kepadaku. Meskipun kedua anakku itu berkesan manja, tapi toh aku memakluminya. Namanya juga anak-anak.

Namun seiring waktu yang bergulir, aku mulai merasa mereka tak memiliki tabiat baik. Mereka senang menentangku, bahkan terlalu sering rasanya diri ini dihardik. Berbeda dengan Ishak, dia selalu dituruti anak-anak. Anak-anak menjadi patuh kalau saja suamiku itu ada di rumah.

Semakin besar badannya, semakin kasar mereka kepadaku. Sekali aku berkata, dua-duanya membalas dengan belasan kata. Akibatnya aku sering mencubit dan memukul mereka. Karena tak tahan terus-menerus diperlakukan tak hormat, aku mengajak Ishak membawa kedua anak kami itu berobat ke orang pintar.

Adakah tabiat mereka berubah? Sama sekali tak! Mereka telah berubah menjadi si Sampuraga yang durhaka. Berbagai orang pintar telah didatangi, berbagai psikolog menyerah untuk merubah tabiat anak-anak itu. Sepertinya itu balasan yang setimpal dari masa laluku.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun