Bau roti bakar membangunkanku. Telah lama aku tak mencium bau wangi itu. Perut terasa berontak. Membayangkan roti bakar dipadu susu hangat di pagi berhujan, alangkah indahnya! Tapi bolehkah pungguk merindukan bulan?
Setelah perang beberapa malam lalu, rumah ini sunyi. Dingin! Masih kuingat piring beterbangan seperti kupu-kupu. Teriakan mencakar dinding rumah, membuat telingaku mendenging. Hasil akhir, ayah membanting pintu.
Malam itu aku ingin buta agar tak melihat sungai di mata ibu, agar tak melihat api di mata ayah. Kenapa orang dewasa suka saling marah? Padahal ada aku di antara mereka. Aku dianggap apa? Seharusnya semua bisa diselesaikan tanpa marah. Berbicara di teras misalnya, sambil minum teh bersama hangat purnama.
Aku juga sering marahan dengan Dian, sejam kemudian kami sudah bemain masak-masakan. Setelah itu marahan lagi berebut komporan. Kala berpisah, kami mulai saling merindukan. Seolah jarak rumah kami terpaut jauh. Sst, jangan bilang siapa-siapa, Dian itu tetangga sebelah rumahku.
Sakit terasa bila dia memusuhiku. Berbeda dengan ayah-ibu, senang sekali bermusuhan. Apalagi setelah ayah pengangguran dan sering pulang malam dalam keadaan setengah mabuk. Membuar dari mulutnya aroma alkohol. Haruskah orang dewasa lebih sering bermusuhan?
Aku tak ingin dewasa seperti ayah-ibu yang senang bertengkar. Mereka sering tak cakapan lebih dari tiga hari. Apa enaknya? Tiga jam saja aku tak cakapan dengan Dian, dunia terasa hambar seperti tanpa garam.
"Mungkin ada yang baru di antara orang tuamu. Dulu ketika orang tuaku akan bercerai, sering kudengar ibu mengatakan kata-kata; yang baru. Ibu pun minggat," ucap Dian sambil membetulkan rantai sepedanya.
"Kalau aku, ayah yang minggat." Aku menekuk bibir bawah. "Baru itu maksudnya apa?"
"Misalnya ketika kau ada baju baru, baju yang lama kau kemanakan?" Akhirnya selesai juga dia membetulkan rantai sepeda itu. Dia menepuk-nepukkan tangan, mundur, mencangkung di sebelahku. Dia tak peduli tangan hitam beroli, langsung saja mencomot kacang rebus di atas meja.
"Mm, aku kasih ke sepupu," jawabku. Dia melotot kesal.
"Bukan dikasih ke sepupu. Maksudku baju lama itu kau buang. Mungkin ayah atau ibumu mempunyai teman baru. Seperti Jihan, itu kan teman barumu. Makanya kita sering bertengkar karenaya." Dia melipat tangan di depan dada, marahan lagi. Ibu memanggilku untuk makan siang. Dian pulang. Tiga hari setelah itu aku dan Dian tak cakapan. Baru kutahu kalau dia iri melihat keakrabanku dengan Jihan, sepupuku yang pindah ke kota ini.