Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Debu Gurun

1 Oktober 2019   16:42 Diperbarui: 1 Oktober 2019   16:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Angin utara berhembus kencang. Debu meliuk-liuk, menjelma tornado-tornado kecil, semakin kecil, dan menghilang.  Yusak menutup wajahnya dengan kain. Turun dari atas kuda seakan singa hendak menerkam mangsa. 

Dia betulkan letak senjata di atas punggung. Sambil memicing karena menghalangi debu masuk ke matanya, dia memandang bangunan itu. Masih seperti dulu, ketika dia meninggalkan  kota ini dua puluh tiga tahun lalu. Saat itu dia belum sekolah. Kata ibu, dia harus menunggu setahun lagi.

Kejadian malam itu dia ingat betul. Hujan badai di luar. Tapi Yusak junior masih bisa mendengar ringkik kuda di sela-sela deru angin. Tercium bau asap. Ibu sedang menjerang air untuk membuat kopi ayah.  

Yusak tersentak ketika seseorang menendang pintu. Tergeragap dia keluar kamar. Ada lima laki-laki tinggi besar masuk ke dalam rumah. Mencampakkan begitu saja tubuh remuk lelaki habis dihajar. Bentuk wajahnya tak lagi rapi. Seorang lelaki tinggi besar itu berucap tentang utang. Seorang lagi belari ke dapur. Dia mendengar suara gelas pecah. Semoga ibu sudah melarikan diri.

Benar saja, lelaki yang berlari ke dapur itu datang lagi dengan mulut maju.   Dia mengeluhkan ada seseorang  di dapur. Dia  berlari entah ke mana.

Yusak memperhatikan orang-orang itu, menyimpannya dalam ingatan. Kemudian dia berlari. Mereka membiarkannya pergi sambil terawa. Setiba dia di kandang kuda tanpa penghuni, Yusak melihat rumahnya menjelma api.

Dia tak tahu mau  berbuat apa lagi. Namun menjelang pagi, ibu keluar dari persembunyiannya. Mereka pergi ke selatan, tempat Bi Mar. Perempuan itu pembuat kue yang sukses di sana.

***

Dia terbatuk sebentar. Kuda diikatnya ke pagar. Banyak sekali kuda yang diparkir di situ. Terdengar suara musik hingar bingar menyelusup dari gedung. Beradu tawa yang lepas. Pintunya kemudian seperti diterjang. Seorang lelaki tua, kurus, keluar dari dalam. Dia mengumpat. Mungkin baru saja kalah judi , atau tos-tosan meminum minuman keras. Jadi, rela atau tidak, harus menghilang dari gelangggang. Dia melihat Yusak sambil mendengus.

Perlahan Yusak membuka pintu. Angin dan debu  menerobos masuk. Sesaat senyap. Seluruh mata pengunjung mengarah kepadanya.  Kedatangan orang asing membuat mereka terdiam, kecuali sang bartender, perempuan berdada busung, mengerdip sambil menempalkan segelas bir dingin di antara payudaranya.

"Minum, Tuan," sapanya manja. Yusak membuang wajah ke sudut ruangan.  Ucapan perempuan itu bertangkai. Tujuan  lelaki muda itu hanya satu, menghabisi musuh-musuhnya, lalu menghilang dari kota ini.

Saat itulah dia seakan de javu. Lelaki di sudut ruangan itu. Ya, itu dia. Lelaki dengan luka di wajah. Lelaki yang hanya mempunyai daun telinga satu. Tepat, itu salah seorang di antara mereka. Tapi Yusak harus hati-hati. Tak boleh gegabah. Dia berjalan ke dekat bartender. Memesan koktail. Lirikannya tak lepas dari lelaki itu. Sementara suasana gedung itu kembali seperti sediakala. Riuh sekali. Apalagi si bartender sesekali bergoyang dengan menggoda.

"Selesai!" Lelaki itu menghempaskan kartu. Dia tak boleh lepas. Dia berjalan terseok menuju pekarangan. Seolah hantu, Yusak berdiri  telah di depannya. Ujung senjata laras panjang mengarah dada lelaki itu.

"Ingat aku?" tanya Yusak.

"Bagaimana aku ingat! Begitu banyak orang yang bertemu aku. Lagi pula orang seterkenal aku, mana mungkin repot mengenal bocah ingusan sekelas kau."

"Ingat dua puluh tiga tahun lalu, seorang lelaki kau bunuh di rumah tua? Di tengah savana. Seorang lelaki yang banyak hutang. Dia adalah ayahku. Sekarang aku ingin menuntut balas. Nyawa dibayar nyawa." Dia menggeram. Lelaki itu terhempas ke tanah. Menyembah-nyembah, meminta ampun. Dia menceracau sudah bertobat. Dia memiliki istri dan sepuluh anak. Semua harus dikasih makan. Bagaimana kalau dia mati? Siapa yang akan mengasih makan mereka.

Yusak menganggung-angguk. Dia seperti sangat pemaaf. Dia membalikkan badan, sambil tak lupa bercermin. "Aku masih tampan," gumamnya. Dia memang tak ingin membunuh musuhnya dengan cara yang mudah ditebak. Dia semakin menjauhi lelaki itu. Dia juga sudah menebak bahwa lelaki dengan luka di wajah, sangat licik. Dia hanya berpura-pura. Yusak bukan anak kemarin sore yang mudah dipermainkan.

Begitu dia melihat lelaki itu mengeluarkan pistol, tanpa berbalik arah, dia lebih dulu menarik pelatuk. Suara letusan menggema. Orang-orang dalam gedung menghambur keluar.

"Karena kasihan, aku hanya mengambil satu lagi daun telingamu. Namun, karena kau menipuku, nyawamu juga akan kubeli."  Yusak kembali menembak lelaki itu tanpa berbalik arah. Lalu terdengar suara tubuh terjerembab. Yusak semakin menjauh. Dia mengajak kudanya pergi dari situ.

"Tunggulah giliran yang lain," gumamnya sambil tersenyum. Angin menerpa wajahnya. Debu meliuk-liuk menimbulkan tornado-tornado kecil. Matahari semakin merah, bertambah rebah. Senja akan lenyap. Dia bersuit panjang. Mereka hilang ditelan debu gurun.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun