Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Itu

1 Oktober 2019   12:50 Diperbarui: 1 Oktober 2019   13:43 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi. pixabay

Saya baru seminggu pindah kos di bilangan Jalan Enggang. Kamarnya luas dan nyaman. Tapi suasana di sini  amat menyeramkan.  Kos  memiliki sepuluh kamar, lima terisi. Kamar saya, tiga pekerja pabrik baja, dan satu tukang ojek online. Saya menempati kamar paling ujung. Lima kamar sebelum kamar saya, kosong semua.

Saya bekerja di kafe dari  pukul  lima sore hingga dua belas malam. Praktis saya  tak bisa bercengkrama dengan tetangga-tetangga kos. Saat saya pulang, mereka sudah ngorok. Begitu saya bangun untuk Shalat Shubuh, mereka semua sudah terbang.

Teman-teman di kafe menyayangkan mengapa saya nge-kos di jalan Enggang. Tempat itu terkenal menyeramkan. Terkabar, dulu ada perempuan yang diperkosa dan dibunuh di sebuah rumah kosong. Sejak itu, setiap tengah  malam,  orang sering mendengar suara tangisan di tempat ini.

"Saya sudah mencari kos lain. Tak ada," keluh saya kepada Imron.

"Hati-hati sajalah. Apalagi kita kan pulang malam terus." Dia seakan menakut-nakuti saya.

Itu adalah percakapan saya dengan Imron pada malam kedua saya nge-kos di sini. Tengkuk saya seketika meremang. Apalagi ketika saya pulang  sendirian. Kebetulan pula listrik mati. Lengkaplah ketakutan itu. Bersenjatakan senter ponsel, saya tak lepas-lepasnyan berdoa. Jujur, saya paling penakut di antara anggota keluarga saya.  

Ternyata doa saya  kurang mempan. Di depan sebuah rumah yang  besar lagi menyeramkan, saya melihat seorang tua berjongkok di dekat selokan. Saya tak melihat wajah, selain punuknya yang diselimuti rambut panjang-ubanan. Saya hampir mati ketakutan. Pasalnya rumah besar itu tepat berdiri di bekas rumah kosong, tempat terjadinya pemerkosan itu. Sialnya lagi, kamar saya menempel  di tembok samping kiri rumah besar  itu.

Orang berpunuk itu menoleh. Wajahnya berlumur darah. Saya langsung berlari ketakutan menuju kamar kos. Selintas terdengar dia memanggil saya, tapi saya memilih buru-buru masuk ke kamar, kemudian mencuci wajah dengan air mineral. Moga-moga saya tak dihantui orang aneh itu.

Saya bertambah takut ketika pulang cepat selepas maghrib, beberapa orang berpakaian hitam-hitam masuk ke pekarangan rumah besar itu. Saya juga melihat si punuk berada di sana. Juga seorang lelaki tua dengan totol-totol di wajah, membuat saya buru-buru belari. Tak sadar saya menabrak tubuh besar berwajah putih.

"Kenapa?" katanya.

Saya malu sendiri. Dia tetangga kamar saya. Seorang tukang ojek online. Kelak saya tahu dia sering memakai masker bengkoang, agar wajahnya tetap sehat karena sehari-harinya wajah itu terpupur debu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun