Lelaki itu duduk di sudut jalan. Agak gelap, terlindung di halte tanpa lampu. Hati saya mendadak  kecut. Teringat jalan ini sering memangsa pejalannya. Setahun lalu, ditemukan seorang pemuda tewas. Kabarnya digebuki pemalak. Motornya dilarikan. Sebulan kemudian, seorang kakek ditusuk tepat di perut dengan pisau cap garpu. Nyawanya untung bisa diselamatkan. Kabar burung juga, orang sering  mendengar suara tangisan. Jeritan dari lorong antah. Ada pula bayangan-bayangan melintas, lalu menghilang. Tak hanya makhluk bertubuh kasar yang akan menakutkanmu ketika di sini. Lebih menakutkan lagi makhluk bertubuh halus.
Saya menyesal tadi tak menuruti ajakan Baim membonceng di motornya. Saya takut apabila menerima bantuannya, saya harus siap-sipa memberikannya bantuan berupa cinta. Dengan seoramg Baim? Tentu tidak! Tapi setelah ditinggal begini, apalagi dengan gaun sedikit ketat, dengan tas jinjing berisi gaji pertama, takkah saya menggiurkan? Tubuh saya juga montok dan seksi. Wajah saya menggoda. Tetiba saya teringat Tuhan. Hanya Dia-lah satu-satunya yang bisa menolong saya. Tapi apa mungkin? Pernahkah saya mengingat Tuhan ketika sedang lapang?
Lelaki yang duduk di sudut jalan itu, sedikit bergeser mendekati saya. Kalau dia macam-macam, saya akan berteriak minta tolong sekeras-kerasnya. Namun, siapa yang akan mendengar saya? Â Jalan ini sepi. Mendung menggelayut langit. Lampu jalan antara segan hidup, tak juga mau mati.
"Hai, lagi nunggu jemputan?" Saya cemas lelaki yang duduk di sudut jalan itu telah berhasil mendekat. Ternyata saya salah. Dia seorang pemuda gagah. Bertampang menggoda. Bersenyum apik, sehingga jantung saya seakan dibolak-balik.
"Nggak nih, mau menunggu angkot."
"Menunggu angkol jam segini? Apa ada?"Â
Saya mulai merutuki bos yang memaksa lembur keroyokan sampai pukul sepuluh malam. Saya sebenarnya bisa protes, dan pulang senja. Â Senjata pamungkas si bos yang membuat saya tak bisa berbuat banyak. Ya itu tadi. Gaji ditahannya hingga jam sembilan tiga puluh. Itu artinya saya harus menunggu tergerak hatinya memberikan upah sebelum keringat karyawan kering. Meski keringat saya sudah kering dari lima hari lalu. Kendati diperas, tubuh saya tak bisa mengeluarkan keringat lagi.
"Nggak ada lagi, ya?" Saya semakin takut.
"Aku menyarankan kita jalan melewati lorong itu. Di seberang lorong biasanya  masih ada taksi. Nanti biar aku yang bayari."
Oh, baik sekali dia. Â Sebenarnya sedari tadi saya bisa mencari taksi. Tapi karena ingin berhemat dengan naik angkot, saya bertahan di jalan ini.
"Aku ada uang kok. Biarlah!" Saya melihat ke arah halte. Entah ke mana lelaki aneh tadi.
"Oh, kebetulan kamu ada uang." Dia tersenyum. Kami berjalan ke arah lorong. Tiba di sisi gelap, lelaki itu menahan langkah saya dengan menumpukan tangan kanan di tembok. Lorong ini lumayan sempit. Pencahayaan sangat pelit. Tak ada rumah sama sekali. Hanya dua tembok yang  memagar lorong ini, dan juga satu lampu yang kelihatan sekarat.
"Kau pasti orang baik-baik, kan?"
"Tadi aku memang orang baik-baik. Setelah melihat tubuhmu yang molek, setengah kerat niat baikku terpotong, karena tiba-tiba aku ingin menikmati tubuh molekmu. Ketika kau mengatakan ada uang, Niat baikku hilang  sama sekali. Setelah menikmati tubuk molekmu, aku juga ingin uangmu."
Saya baru menyadari telah tertipu penampilan lelaki itu. Ingin berlari, kaki saya dikuncinya. Ketika bibirnya hampir menyentuh leher saya, sekonyong terdengar suara pukulan keras. Sebilah balok hampir mencium bibir saya. Lelaki itu pun terjerembab tak berdaya. Saat melihat siapa yang memukul lelaki itu, nyali saya begitu ciut. Dia adalah lelaki yang duduk di sudut jalan tadi. Lelaki sangar dan kumuh. Saya mencium bawa alkohol membuar dari mulutnya. Saat dia setengah menyeret saya semakin memasuki lorong, hati ini sudah pasrah. Habislah kali ini hidup saya.
Namun, kami akhirnya sampai di jalan protokol. Dia memanggil taksi yang lewat. Setelah memberi uang kepada si sopir taksi, dia berkata, "Jangan pernah lagi memakai gaun seksi." Setengah memaksa, dia menyuruh saya masuk ke dalam taksi. Setelah itu taksi melaju. Lelaki itu menghilang di pengkolan.
Sekian menit kemudian. "Kita ke mana, Bu?" tanya sopir taksi. Saya menepuk jidat karena ingat taksi berlawanan arah dengan rumah saya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H