Tak terbayangkan bagi Bibah, Luna dan Siska bakalan kembali ke zaman batu. Apa yang diharapkan mereka tentang desa  eksotis memang terbukti. Betapa eksotisnya mereka harus menumpang pick up dari ibukota kecamatan, plus sayur-mayur, plus ayam-bebek, tentu dengan percikan tahinya.Â
Selepas menumpang pick up, mereka harus naik ketek melewati sungai menyeramkan, karena takut ada buayanya, dan takut kecebur ke sungai berwarna kecoklatan. Moga-moga mereka cepat sampai ke tepian di seberang. Â Sungai itu lumayan lebar, sekitar seratus meter.
Kendala lain yang mereka hadapi adalah ketiadaan sinyal ponsel. Kalaupun ingin mencari sinyal, harus naik pohon yang tinggi. Pohon yang paling tinggi di desa itu adalah pohon kelapa. Urusan listrik juga membuat kelimpungan. Desa itu difasilitasi listrik tenaga air, Â hanya hidup antara pukul tujuh malam sampai tujuh pagi. Selepas itu mereka mati gaya. Ada televisi hitam putih, tapi baru bisa nonton sesuai jadwal listrik hidup. Oh, betapa merananya mereka!
Mereka sebenarnya ingin menolak pergi ke desa itu. Tapi ini demi tugas. Siapa yang menyuruh mereka menjadi bidan? Itu adalah cita-cita mereka dari dulu. Kalau siap menjadi bidan, harus manut juga bila ditugaskan ke desa pedalaman. Jabatan mereka mentereng: bidan desa. Mereka menjadi pujaan warga desa. Tapi, ya, Tuhan, jangan sampai di desa kayak gini dong mereka ditempatkan.
Satu lagi yang mengesalkan, mereka ditempatkan di rumah paling besar dan seram di desa itu. Rumah panggung beratap ijuk. Bau kandang ayam di kolong rumah, tak ayal setiap saat membuat mereka hampir bersin, tapi tak sampai bersin-bersin. Baru hampir saja.
Belum lagi penunggu rumah itu, mungkin bila bertemu kamu di malam gelap, yakin kamu akan pingsan. Penunggu rumah itu seorang perawan. Perawan di sini artinya belum menikah. Tapi usianya hampir enam puluh tahun. Rambutnya melulu putih. Paling senang bersugi, sehingga dia  seperti baru selesai menghisap darah seseorang. Wajahnya juga seram. Hanya saja, kalau kau sudah kenal dekat, kau pasti senang bergaul dengannya. Mpok Nari itu orangnya latahan, dan senang bercanda.
Tugas tiga sejoli ini setiap hari harus  berkeliling desa.  Seperti vampir mereka mencari korban yang sedang sakit. Setiap berobat, orang desa selalu memberi upah dengan barter barang. Terkadang nanas atau tebu, bahkan ayam maupun bebek. Tak jarang pula tiga sejoli harus siap diajak makan bersama.
Oya, sebelum lupa, meskipun Mpok Nari itu perawan, dia memiliki tiga keponakan yang selalu bertandang ke rumah si mpok. Saya katakan selalu, sebenarnya sebelum bidan desa itu datang, mereka jarang mengunjungi Mpok Nari. Tapi, setelah keberadaan tiga sejoli itu, tak dapat tidak, sehari saja tak berkunjung, sepertinya tubuh mereka langsung gatal. Perlu saya beritahu, tiga keponakan itu, tinggal selemparan batu dari rumah Mpok Nari.
Oya, sekali lagi, sebelum saya lupa, berhubung tiga bidan desa itu tidak cantik apalagi menarik, namun karena tak ingin menghina tampilan seseorang, baiklah kita sebut saja mereka kakak-kakak nyantik alias KKN. Jadi, ceritanya nyambung, ada tiga kakak-kakak nyantik di desanya si Mpok Nari.
Bibah dan Paijo
Bibah itu seorang bertubuh gemuk. Berhubung di desa Mpok Nari udaranya dingin, rasa lapar Bibah meningkat lima derajat. Kau tentu berpikir perempuan satu itu semakin gemuk setiap harinya.
Perlu saya jelaskan, tubuh Bibah tetap tak berubah. Artinya, masih sama seperti dia datang dari kota. Karena setiap apa yang dimasukkannya ke mulut, beberapa jam kemudian pasti akan keluar. Pastinya itu yang sangat mengesalkan. Dia harus melapor ke belakang setiap malam. Sementara kakus di desa itu adanya di kanal berjarak seratusan meter lebih dari rumah Mpok Nari. Sialnya lagi, Luna dan Siska tidak pernah mau diminta bantuan sekadar menemani ke kakus desa. Mereka bertiga sama-sama penakutnya. Untunglah seorang Paijo dengan senang hati menemani Bibah.
"Dengan senang hati aku akan menemani ibu bidan ke mana pun." Itu yang diucapkan Paijo ketika malam pertama menemani Bibah ke kakus desa.Â
Awalnya lelaki ini tak ada perasaan kepada Bibah. Tapi karena hampir setiap malam menemaninya ke kakus desa, timbul pula benih cinta di hati si perjaka. Entah sama juga yang timbul di hati Bibah, saya tak tahu.
Memang tak ada yang menarik dari tampilan perempuan itu. Sudah berbadan gemuk laksana tong, jerawat Bibah juga besar-besar. Kata orang jerawat batu. Makannya kuat, pup-nya juga deras. Sementara Paijo itu perjaka kurus. Badannya nyaris seperti papan penggilasan. Keluarga Paijo seperti dikutuk menjadi orang-orang kurus seperti kurang makan, meskipun rata-rata mereka kuat makan. Terbetik di benak Paijo ingin memperbaiki keturunan, agar anak-anaknya gemuk-gemuk, maka di bulan ketiga dia menemani Bibah pup di kanal, Paijo berkata, "Aku boleh ngomong nggak?"
"Nanti dulu. Tunggu aku selesai," jawab Bibah.
Setengah jam kemudian dia keluar dari kakus sambil mesem-mesem. "Akhirnya lega. Perut sudah kempes."
Paijo tersenyum geli. Perut Bibah tetap saja gembung. Mereka berjalan agak jauh, lalu berhenti di dekat pohon kapuk. Malam itu sedang banyak kunang-kunang. Mungkin  musim kawin.
"Indah sekali kunang-kunang itu, ya? Mereka sedang mencari pasangannya," kata Paijo.
"Iya." Bibah tiba-tiba teringat sesuatu. "O, iya. Kau tadi mau bilang apa?"
"Aku."
Bibah menjerit. Dia ketakutan karena ada berang-berang melintas. Dia tak sadar memeluk Paijo. Tapi, sekejap kemudian dia melepas pelukannya. Dia tersenyum malu-malu. Paijo merasa ada cinta memancar dari mata Bibah.
"Aku ingin mengajakmu makan rujak." Paijo membuang napas lega. Heh, terkadang cinta itu tak perlu dikatakan.
Luna dan Parkijo
Lain Bibah, lain pula Luna. Perempuan itu berbadan sedang, dan malas makan.  Dia berkacamata minus tiga. Hampir tiap hari dia selalu ingin berbicara dengan mamanya. Dia memang anak mama. Tapi apa jadinya kalau tak ada sinyal di desa itu? Tentu dia mati gaya. Masa' dia harus memanjat kelapa kalau hanya sekadar  mencari sinyal.
Beruntung ada Parkijo. Kemahirannya memanjat kelapa menyamai beruk. Sejak pertama kali  Luna ingin menelepon mamanya, Parkijo dengan senang hati mencari pohon kelapa yang paling tinggi. Dia memanjatnya. Saat dia sampai di pucuk kelapa, mulailah dia berbicara dengan mama Bibah.
"Halo, Bu, aku Parkijo."
"Parkijo? Belum apa-apa Luna langsung ada pacar, ya?" Mama Luna bercanda.
"Bukan, Bu. Saya petugas Ibu Luna mencari sinyal. Di sini kalau mau dapat sinyal harus ke pucuk kelapa. Nah, Bu, Ibu Luna bertanya apa kabar?"
"Baik!"
Begitulah sulitnya mereka memanfaatkan kemajuan tekhonolgi. Luna berteriak-teriak dari bawah pohon kelapa, mengungkapkan apa yang ingin dia katakan kepada mamanya. Parkijo yang kemudian menyambungkannya. Seperti itu terus-terusan hampir setiap hari. Mungkin tersebab itu tumbuh cinta di hati Parkijo, hingga di suatu senja setelah menyelesaikan tugas mencari sinyal, dia mengajak Luna bermain di pinggir kolam.
"Setelah kupikir-pikir ada yang kurang dalam diriku," kata Parkijo lembut.
"Kurang apa? Kurang tinggi atau kurang makan?"
"Apakah kau pernah bertanya kepada hati kecilmu?"
"Bertanya apa?"
"Bertanya apakah hati kecilmu cinta kepadaku. Kekurangan dalam diriku selama ini adalah tak memiliki kekasih. Apakah kau  mau menjadi kekasihku?" Parkijo membuang napas lega. Terkadang cinta itu harus dikatakan.
Siska dan Misno
Di antara tiga sejoli, nasib Siska yang paling sial. Kalau disamakan dengan provider, coverage area Siska paling jauh. Karena kenal dengan Misno, dia akhirnya terbantu. Saat pagi masih meremang, Misno sudah siap sedia di halaman rumah Mpok Nari. Ke mana pun tujuan Luna, Misno dan si Kumbang (sepeda), akan mengantarkan.
Pertama kali membonceng di sepeda Misno, Luna berpegangan di bangkunya. Lama-lama di bangku Misno. Semakin lama di pinggang lelaki yang merasa seperti berjalan di awang-awang. Terkadang Misno merasa tujuan mereka terlalu pendek.Â
Sekali-dua Siska yang membawa sepeda. Misno berpegangan di bangkunya. Lama-lama dibangku Siska. Semakin lama tangan lelaki itu melingkar di pinggang ramping perempuan itu.
Misno merasakan betapa lembut aroma rambut Siska. Aroma perempuan itu pun sangat menggoda. Ketika makan, Misno selalu terbayang wajah Siska. Saat malam dia tak dapat lena, karena selalu ada wajah perempuan itu. Hingga di suatu senja, dia nekad menyeberang ke ibukota kecamatan. Dia membeli kalung imitasi yang matanya gemerlapan. Selepas isya, dia pun mengetuk kamar Siska. Mereka bertemu di dekat rimbun bambu.
"Sis, bagaimana kalau ada seorang lelaki mengatakan cintanya kepadamu?" Misno tersenyum malu-malu.
"Ya, pasti aku senang!"
"Kalau lelaki itu sekarang ada di depanmu?"
Siska tertunduk. Misno meraih tangan kanan Siska. Dia genggamkan kalung itu. "Bolehkah aku mengalungkannya?" Siska tak menjawab. Namun dia membalikkan badan. Misno mengalungkan cintanya di leher perempuan itu. Terkadang cinta tak hanya dikatakan, tapi perlu pembuktian.
Bibah, Luna dan Siska
Pada awal ketiga sejoli ini menginjakkan kaki di desa Mpok Nari, telah tertanam tekad di benak mereka, bahwa tak akan lama-lama mereka tinggal di desa sialan itu. Selesai tugas, mereka akan hengkang kembali ke kota.Â
Tapi sampai sepuluh tahun kemudian, mereka tetap berada di desa itu, dan masing-masing sudah memiliki seorang anak.  Bersama Paijo, Bibah beternak ayam. Mereka mengusai pasar unggas di desa itu. Luna dan Parkijo sekarang berjualan ponsel, karena tak perlu lagi  mereka mencari sinyal setelah ada tiga tower berdiri di situ, dari tiga provider besar. Akan hal Misno dan Siska, berbisnis angkutan desa. Sekarang sudah ada jembatan yang menghubungkan desa dengan ibukota kecamatan.Â
Sementara di gerbang masuk ke desa itu berdiri megah sebuah puskemas bernama Puskemas Mpok Nari. Â Di situlah pekerjaan utama Bibah, Luna dan Siska.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H