"Ah, kau ngarang saja. Takhayul itu. Aku sudah kapalan urusan pasar malam. Seluruh tempat telah pernah kusambangi. Dari yang biasa-biasa saja, hingga menyeramkan. Nyatanya aku melewatinya dengan sukses. Sudahlah! Awasi pekerjaan mereka agar berjalan baik!" Aku menghalau Aron dan Sisil. Aku ingin ingin istirahat.Â
Setelah mereka pergi, dan aku menggerak-gerakkan pinggang ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba aku baru sadar ada seorang anak perempuan berambut panjang dan berwajah pucat, telah duduk di sudut ruangan.
"Hei, sejak kapan anak kecil masuk ke mari. Usir dia! Aku mau istirahat." Aku entah berteriak kepada siapa. Hanya aku dan anak itu yang ada di ruangan ini. Aku akhirnya menggaruk-garuk kepala dengan kesal.
"Sebaiknya kau harus minggat dari sini. Aku tidak ingin tempat kami diganggu." Anak itu berbicara dengan wajah tegang.
"Ah, jangan menakut-nakutiku anak kecil!"
"Kalau kau tak mau menuruti perkataanku, resiko tanggung sendiri." Dia berlalu. Aku hanya mengibaskan tangan, dan rebahan di sofa. Sepertinya badanku remuk. Aku butuh istirahat sekejap.
Ternyata aku tertidur hingga senja. Sangkotlah yang membangunkanku dengan mulut menceracau. Katanya rumah hantu rubuh, menimpa seorang pekerja hingga terluka parah. Dia sekarang sedang dibawa ke rumah sakit terdekat.
Aku perlahan duduk. Bangun lantaran terkejut,membuat kepalaku pusing. Di ambang pintu, ada Aron dengan pandangan mengejek.
"Sudah kubilang. Kita pindah saja ke tempat lain," katanya. Aku seolah tak mendengar. Ketika aku tanyakan pasal arena tong setan, Sangkot mengatakan ready to show. Segera aku menuju ke kamar mandi sambil menyuruh Aron mengurusi biaya perobatan pekerja yang celaka.
***
Lampu berkedap-kedip setelah pukul tujuh malam. Rumah hantu yang rubuh, terpaksa mulai beroperasi besok. Sekarang pengunjung sudah menyemut, terutama di arena tong setan. Motor mulai kugeber.Â
Sisil mengenakan topengku, dan menempelkan tulisan "the strom" di dadaku. Saat itulah aku seperti melihat anak berambut panjang dan berwajah pucat itu berada di antara pengunjung. Dia meletakkan telapak tangannya melintang di leher. Entah apa maksudnya, aku tak tahu.Â