Saya memutuskan lapangan itu tempat kami menggelar pasar malam selama sebulan ini. Posisi arena telah saya susun. Di bagian tengah, arena komedi putar dan tong setan.Â
Arena bola tangkas serta ketangkasan lainnya disusun di pinggir, membentuk lingkaran. Sedangkan arena rumah hantu diletakkan paling sudut, bagian utara. Tepatnya  diapit dua pohon beringin besar, sehingga terlihat menyeramkan.
"Kau yakin lapangan itu cocok menjadi lapak bisnis kita selanjutnya, Husein?" Aron berkacak-pinggang, melihat para pekerja cekatan membangun beragam arena.Â
Sejak aku memutuskan lapangan itu tempat kami mendulang rejeki, Aron sudah protes dari semula. Padahal Ketua RW dan beberapa centeng, sudah setuju kami menggelar pasar malam di situ. Persekot pun sudah kuberikan.Â
"Aku sudah habis-habisan, Aron!"
"Apakah kau juga akan membangun arena rumah hantu?" Aron menatapku tajam. Sisil sedang memijit-mijit aku. Nanti malam tugasku unjuk gigi di arena tong setan.Â
"Yap! Rumah hantu merupakan maskot kita."
"Bagaimana dengan tong setan?"
"Aku akan main nanti malam. Tenang saja duduk di boncengan. Yang penting rejeki kita akan lancar. Lihat saja Sangkot sampai kewalahan mengusir anak-anak. Mereka sudah merubung. Padahal arena belum dibuka untuk umum. Pokoknya awasi agar semua bisa beroperasi nanti malam."
Rahang Aron mengeras. Dia ngotot kami jangan membuka arena rumah hantu dan tong setan. Dua arena itu sangat bersinggungan dengan hal menakutkan; hantu dan setan. Sementara konon, tempat itu terkenal sangat menyeramkan.
Di dahan pohon beringin paling bawah, pernah dua-tiga kali ditemukan orang gantung diri. Sejak saat itu sering ada penampakan aneh, bahkan sesekali terdengar suara tangisan.