Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Seribu Bulan

7 September 2019   11:40 Diperbarui: 7 September 2019   11:46 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan penuh Ramadhan lalu, Hasan Sulhasan berubah total. Yang dulunya shalat wajib sering bolong-bolong, sekarang shalat sunat saja full. Yang dulunya jarang mengaji A Qur'an, sekarang bisa satu-dua juz sehari semalam. 

Apakah lagi betah di Masjid, tentulah saat itu hampir separoh hari ditinggalkannya dagangan pakaian di pasar, karena lebih mendulukan kegiatan di Masjid.

Tak hanya orangtua yang senang, mertua pun tambah sayang. Tak hanya istri tambah cinta, istri tetangga, tentu saja semakin menaruh hormat. Tapi, apa yang diidam-idamkan Hasan Sulhasan, sungguh tak kesampaian. Tadi, saat mengeluarkan motor dari garasi pada pagi keduapuluh satu Ramadhan, dia tak sengaja menatap ke langit sebelah timur. 

Dengan santainya dia menatap bola raksasa berwarna merah yang biasanya menyilaukan tersebut. Padahal jam tujuh dia sudah menyilaukan mata. Sadarlah Hasan Sulhasan cerita yang didengung-dengungkan Jasolehun bahwa salah satu ciri sudah terjadi malam lailatul qodar alias malam seribu bulan, pada pagi harinya matahari berwarna merah dan menyejukkan mata. Dia tak lagi garang.

Kontan Hasan Sulhasan tak lagi memanaskan mesin motor. Dia menangis kecewa menuju kamar. Istri heran, apalagi mertua. Tak biasanya Hasan Sulhasan pada pagi begitu masuk lagi ke kamar. 

Biasanya setelah memanaskan mesin motor, dia akan pergi ke lapak pakaiannya di pasar. Aduh, istrinya sampai urung belanja ke warung sebelah dan memilih duduk di bangku teras, heran melihat perubahan Hasan Sulhasan yang tiba-tiba itu.

Seperti hembusan angin, Jasolehun sudah berdiri di dekat istri Hasan Sulhasan, yang terkejut bukan kepalang. "Datang dan dijemput pulang tak diantar," latahnya sambil menutup mulut. 

Jasolehun hanya bisa tersenyum sambil duduk di dekat perempuan itu. Dia menyuruh perempuan itu memangggil suaminya. Mereka mau berbicara empat mata.

Mendengar Jasolehun ada di teras, Hasan Sulhasan langsung keluar rumah. "Aku kecewa, Pakde. Hari-hari telah kuhabiskan untuk ibadah. Lihatlah, mataku hitam karena menahan kantuk untuk ibadah. Lihatlah, kakiku bengkak keseringan ibadah."

"Nah, bagus itu, teruskan. Kenapa harus kecewa?" Jasolehun mengacungkan dua jempol tangan.

"Bagaimana tak kecewa. Aku lihat matahari terbit dari sebelah timur."

"Lho, memang matahari harus terbit dari sebelah timur. Kalau sebelah barat, gawat jadinya. Itu tanda-tanda mau kiamat," kata Jasolehun.

"Bukan begitu, Pakde. Aku melihat ciri-ciri matahari, menunjukkan bahwa tadi malam sudah terjadi malam lailatul qodar. Kenapa aku tak mendapatkannya? Padahal aku itikaf di Masjid untuk mengintainya," keluh Hasan Sulhasan.

"Sekarang kutanya ibadahmu selama Ramadhan ini, apakah istiqomah?"

Hasan Sulhasan duduk. "Lebih dari istiqomah. Tapi, apa yang kuharapan dari malam seribu bulan itu, tak terjadi sama sekali."

"Apakah menurutmu semudah itu memperoleh malam seribu bulan? Pada hari yang bukan di bulan Ramadhan, kau malas-malasan beribadah, malahan kau menyerempet dosa. Terkadang jarang shalat wajib berjamaah di Masjid, meski jaraknya dari rumahmu hanya beberapa menit. 

Kau shalat wajib sendirian saja di tempat usaha atau di rumahmu. Itupun sudah di ujung-ujung waktu. Lebih parah lagi, bolong-bolong. Mengaji Al Qur'a saja karena terpaksa, ada tetangga meninggal dan perlu dibacakan yasiin.

Apakah itu namanya? Ini bukan sekolah atau kuliah yang bisa dibuat dengan cara sks, alias sistem kebut semalam. Ibadah itu tak perlu banyak, tapi istiqomah. Ibadah itu tak terpaksa, tapi dinikmati. 

Apakah kalau kau mencintai seseorang itu hanya sebulan, dan di bulan lain tidak? Untuk apa kau sebulan Ramadhan penuh selalu beribadah dan kelihatan alim, tapi hanya kulitnya saja. Sementara di bulan lain nol besar.

Malam lailatul qadar itu tak perlu dikejar dengan menggebu-gebu. Kita memang perlu beribadah banyak selama bulan Ramadhan, tapi tetap beribadah juga di bulan lain. Jangan sampai selama bulan Ramadhan aliman, habis lebaran bajingan. Kita menunjukkan bahwa kita mencintai Allah melebihi dari segalanya. Andaikan dapat malam lailatul qodar, itu hanya bonus. 

Lalu, kenapa kau kesal setelah banyak beribadah bulan ini tak mendapat malam lailatul qadar? Apakah kau ingin barter dengan Allah? Pernahkah nikmat tubuh itu ditagih Allah? Pernahkah nikmat udara, nikmat sehat, nikmat makan dan lain-lain ditagih? 

Sadarlah, ibadah bulan ini bukan lantaran malam lailatul qodar, tapi hanya cinta kepada Allah." Jasolehun berlalu, dan Hasan Sulhasan maklum, langsung menggeber motor menuju pasar.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun