Sebulan penuh Ramadhan lalu, Hasan Sulhasan berubah total. Yang dulunya shalat wajib sering bolong-bolong, sekarang shalat sunat saja full. Yang dulunya jarang mengaji A Qur'an, sekarang bisa satu-dua juz sehari semalam.Â
Apakah lagi betah di Masjid, tentulah saat itu hampir separoh hari ditinggalkannya dagangan pakaian di pasar, karena lebih mendulukan kegiatan di Masjid.
Tak hanya orangtua yang senang, mertua pun tambah sayang. Tak hanya istri tambah cinta, istri tetangga, tentu saja semakin menaruh hormat. Tapi, apa yang diidam-idamkan Hasan Sulhasan, sungguh tak kesampaian. Tadi, saat mengeluarkan motor dari garasi pada pagi keduapuluh satu Ramadhan, dia tak sengaja menatap ke langit sebelah timur.Â
Dengan santainya dia menatap bola raksasa berwarna merah yang biasanya menyilaukan tersebut. Padahal jam tujuh dia sudah menyilaukan mata. Sadarlah Hasan Sulhasan cerita yang didengung-dengungkan Jasolehun bahwa salah satu ciri sudah terjadi malam lailatul qodar alias malam seribu bulan, pada pagi harinya matahari berwarna merah dan menyejukkan mata. Dia tak lagi garang.
Kontan Hasan Sulhasan tak lagi memanaskan mesin motor. Dia menangis kecewa menuju kamar. Istri heran, apalagi mertua. Tak biasanya Hasan Sulhasan pada pagi begitu masuk lagi ke kamar.Â
Biasanya setelah memanaskan mesin motor, dia akan pergi ke lapak pakaiannya di pasar. Aduh, istrinya sampai urung belanja ke warung sebelah dan memilih duduk di bangku teras, heran melihat perubahan Hasan Sulhasan yang tiba-tiba itu.
Seperti hembusan angin, Jasolehun sudah berdiri di dekat istri Hasan Sulhasan, yang terkejut bukan kepalang. "Datang dan dijemput pulang tak diantar," latahnya sambil menutup mulut.Â
Jasolehun hanya bisa tersenyum sambil duduk di dekat perempuan itu. Dia menyuruh perempuan itu memangggil suaminya. Mereka mau berbicara empat mata.
Mendengar Jasolehun ada di teras, Hasan Sulhasan langsung keluar rumah. "Aku kecewa, Pakde. Hari-hari telah kuhabiskan untuk ibadah. Lihatlah, mataku hitam karena menahan kantuk untuk ibadah. Lihatlah, kakiku bengkak keseringan ibadah."
"Nah, bagus itu, teruskan. Kenapa harus kecewa?" Jasolehun mengacungkan dua jempol tangan.
"Bagaimana tak kecewa. Aku lihat matahari terbit dari sebelah timur."