Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seperti Mengenal Laut yang Tak Bertaut

6 September 2019   16:20 Diperbarui: 6 September 2019   16:32 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Bau ombak. Bau Ikan. Bau yang menjaring. Hati yang tertikam. Begitu larut gelap. Mendung semakin sembab. Kami berbicara tentang lembah yang tak lagi indah. Tentang gunung yang tak lagi megah. Tanah-tanah seumpama darah. Orang-orang menukar kisah, tapi tak benar-benar mejadi mimpi yang berkah. Seperti kami berdua yang menyulam kisah. Dari angin malam yang berdesah. Dari lindap lampu menyinari susah.

Aku melihat dia tetap menatap ke laut. Entah di mana hatinya bertaut. Pada desir ombak. Pada perahu yang melaut. Pada rambut yang lusuh, dia melabuhkan mata di hatiku yang rapuh.

"Kau adalah perempuan yang membuat hatiku melepuh. Berpuluh tahun ingin aku berlabuh. Tapi tak ada tali, tak ada sauh. Maukah kau menjadi dermaga untukku bersimpuh." Angin menerabas rambutnya. Mata itu menusuk hati yang terdalam. Aku merasa gamang. Tak ada terasa pegangan. Meskipun di bibir pantai banyak tiang. Di mana perahu pulang berdiam. Menghangatkan waktu dia berdiang.

"Masihkah kau cintaku yang dulu. Ketika kita bermain kerang. Menunjuk bintang dengan senang. Meninju matahari sehingga merasa menang. Padamu aku hadir. Pada gila rasa. Pada cinta raga. Pada rindu sukma. Betapa bertahun bertapa tanpa cinta. Tapi, telaga itu ada. Di matamu yang terbuka. Ingin kucium, meski ingin aku melupa."

Wajahnya kutatap, Wajahku merapat. Riak mata bergerak, Napas memburu berderap Seperti penungguan yang sembab. "Apa yang kau beri kepada dermaga yang tanpa tujuan. Hanya tiang-tiang rapuh, selalu melepuh, tersebab sinar selalu jatuh. Tanpa penghalang, ganas tak berbilang. 

Aku ingin mercu suar, memberi petunjuk kepada kapal, bawa di sini tak terjal, tapi indah untuk tempat tinggal. Aku ingin dermaga yang kokoh, untuk memegang segala jangan roboh. Aku ingin lampu-lampu. Tawa candu. Liuk angin menyapa perdu. Warna laut yang cemerlang. Orang-orang lalu-lalang. Karena cinta tak akan datang, hanya oleh jiwa yang kerontang. Aku ingin merengkuh dunia. Bisa berpakain berwarna. Seperti pelangi. Diminati dan dicari."

Dia melempar desah. Membuang kepingan batu ke tengah laut. Seakan membuang harap yang tak bertaut. Dalam kabut, malam bertekuk. Kami biarkan segala larut. Tapi tak mungkin menyatukan air dan minyak. Tubuhnya menjadi asap, menjelanak ke seluruh celah. 

Dan kulihat warna di langit jingga. Kulabuhkan rasa pada harta. Dan mobil tua meluncur. Orang tua menjulur. Cintanya terukur, antara rasa dan harta bertabur. Aku lelah, sesal menggalah. Meskipun tak lagi bisa mengambil cintanya, jauh tinggi di angkasa. Cinta suci yang berwarna. Aku suka.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun