Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berkah Sedekah

1 September 2019   17:00 Diperbarui: 1 September 2019   17:00 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Tiba saatnya bagi Her pulang ke rumah setelah dua minggu berada di tengah hutan.  Berjibaku agar semua pekerjaanya aman terkendali.

Tentang Hesti, istrinya, telah  pula bersiap-siap hendak pergi ke pasar. Suami tercinta akan pulang, tentu lebih baik menyambutnya dengan makanan enak. Tapi  sekilas melihat isi dompet, keringat si istri, langsung terbit.

Cukup apa uang dua puluh ribu untuk memasak makanan enak? Hesti mencoba tersenyum. Selalu saja dia ada ide agar perut Her setiap pulang ke rumah tetap nyaman. Agar pula ketika kembali ke tengah hutan, perut itu selalu rindu masakan sang istri.

***

Pagi itu lumayan padat suasana pasar ketika Hesti tiba. Pada saat itulah ibu tua mencegatnya. Dia meminta uang untuk membeli makan dengan wajah sangat memelas. Hesti jatuh kasihan. Setiap ada peminta-minta menadahkan tangan, dia amat sedih membiarkan tangan yang menadah itu kosong-melompong. Maka sejak dulu, dia selalu mengisi tangan yang menadah itu, termasuk milik si ibu tua. Tapi, bagaimana mungkin dia memberi selembar uang sepuluh ribu sementara dia butuh paling tidak uang dua puluh ribu untuk masakan sederhana?

Dia kembali melihat mata si ibu yang memelas. Alam bawah sadar memerintrahkannya memberikan uang tidak hanya sepuluh ribu, tapi seluruh uang yang dia punya. Dia pulang dengan hati lapang karena telah berhasil berbuat baik dengan orang lain. Kendati saat tiba di rumah, dia baru sadar.

Di bawah tudung saji hanya ada dua potong ikan asin, dan semangkok sambal?  

Apa yang akan suami katakan ketika melihat di bawah tudung saji lebih parah dari yang didapatkannya di tengah hutan? Apakah uang yang dtinggalkan suaminya belum cukup.

Salah Hesti membawa ibunya yang sakit ke klinik, hingga uang dua ratus ribu melayang. Juga alangkah tak perpikirnya Hesti memberikan sisa yang dua puluh ribu kepada pengemis. Sekarang keringat dingin semakin deras mengucur di keningnya. Suara langkah kaki Her terdengar di ambang pintu. Lalu, seraut wajah lelah mengambangkan senyum. Merangkul istri sambil mengecup ubun. Saat si suami mengangkat tudung saji, dunia seolah berpusing bagi Hesti.

"Mama belum masak, ya?" tanya suaminya. Hesti merasa telah menjadi istri yang tidak bisa membahagiakan suami. "Kalau begitu, cocok sekali. Setelah mandi, papa akan mengajak mama makan di restoran kawan papa yang baru seminggu ini buka. Pokoknya mama boleh makan apa saja dan mau kenyang yang bagaimana, terserah." Hesti mulai berani tersenyum.

"Dan mama tahu apa yang lebih  membahagiakan papa? Seminggu lagi papa harus menetap di kota ini."

"Kenapa rupanya, Pa?"

"Karena papa naik pangkat, dan bos kagum melihat kinerja papa." Hesti tak sadar memeluk tubuh suaminya yang masih bau debu.

"Papa tiba-tiba kok bau uang?" Hahaha, tawa bahagia itu pun pecah.

---0o0---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun