Baca juga : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Pulang dari Medan, penuhlah Lopo Sapangkek (pen; lopo sebaya) karena ingin mendengar bualan Ja Limbat. Kawan kita ini hanya bercerita masalah di rumah makan itu. Semua yang di Lopo Sapangkek tertawa. Seperti biasa, karena takut bocor, Wak Midah segera ke belakang.
"Di mana tempat pertean. Di mana tempat miting. Hahaha, ini mati ketawa ala Rusia." Entah dimana  buku Mati Ketawa Ala Rusia itu dibaca Mizan, tak seorang pun tahu. Mungkin penulis cerita ini yang memasukkan opininya. Ada-ada saja.
Tapi, betapa tawa riuh di Lopo Sapangkek mendengar cerita lucu itu, Ja Limbat tak sedikit pun tertawa. Biasanya, kalau belum memulai cerita, dia lebih dulu tertawa. Setelah selesai bercerita, dia pula yang terakhir tertawa. Sekarang dia serius kali bercerita. Di matanya hanya terbayang Tiara. Macam menanggung rindu. Kalau saja penulis cerita bisa memasukkan dirinya dalam cerita, mungkin sudah dikasihkan satu hape ke tangan Ja Limbat, satu lagi ke tangan Tiara. Biar rasa rindu mereka lunas.
Namun, bagaimana cerita hape, telepon yang ada di Kotanopan pun baru telepon engkol. Itu pun hanya satu dua rumah yang memilikinya. Sekali menelepon interlokal, macam siamang saja, teriak-teriak. Paling kuat, sebagian orang Kotanopan hanya bisa telegram.
Puas pula kawan-kawan di Lopo Sapangkek itu bertanya pasal Ja Limbat yang berubah drastis. Setelah memberikan oleh-oleh tanah dari Medan, dia akhirnya membuka rahasia.
"Jadi gara-gara perempuan itu, siapa namanya, Tiarap?" Mizan terkekeh.
"Ah, jangan pula kau ganti-ganti namanya yang indah. Kau pikir dia tamatan tentara sehingga perlu tiarap." Ja Limbat sepertinya kesal. "Namanya T-I-A-R-A. Cantik seperti orangnya. Megah seperti hotel paling megah di Medan. Alah, kalau si Butet yang kau kejar-kejar itu, kalahlah, Mizan. Bagaikan langit dan bumi. Bagaikan rambut dan bulu ketek." Mizan cemberut mendengar kata-kata yang dilontarkan Ja Limbat. Namun, dia akhirnya tertawa mengingat sesuatu yang lucu.
Dia menoleh ke arah Wak Midah. Wak Midah bertanya dengan mata yang melotot. "Boleh aku ceritakan bahan yang lucu itu, Wak Midah? Ja Limbat kan belum tahu. Dia masih di Medan ketika aku kau ajak ke pasar Kotanopan. Alah, pasal beras." Selanjutnya Mizan tertawa. Ja Limbat tak sabaran mendengar cerita Mizan. Dia agak cemburu, bukan Ja Limbat namanya kalau sampai Mizan lebih lucu dari dia.
Mulailah Mizan bercerita. Saat itu satu hari menjelang puasa, Wak Midah disuruh Ja Latong, suaminya. Aih, ada-ada saja nama orang di kampung itu. Tak ada yang bagus sedikit apa? Tapi tak usah pusingkan. Masalah nama tak ada kait-mengait dengan cerita Mizan. Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Wah, tambah ngelantur cerita ini. Baiklah kita kembali ke laptop (sepertinya jaman itu belum ada laptop).
Ja Latong ingin di sahur pertama makan beras Sigudang (pen; nama beras nomor wahid di Mandailing.) yang tak keras kalau kekurangan air, yang tak lembek kalau kelebihan air. Memboncenglah Wak Midah di kareta (pen; sepeda motor) Binter milik Ja Limbat. Karena Ja Limbat yang memiliki kareta, Mizan hanya tumpang pakai saja.
Setelah kareta diparkir di dekat pohon Mahoni, Mizan dan Wak Midah jalanlah ke pasar Kotanopan, tepatnya ke toko beras Iccah. Iccah sahabat karib Wak Midah. Selain itu, Mizan juga memaksa ke toko perempuan itu. Sekali mendayung, satu dua pulau terlampaui. Tak dapat si Butet, si Iccah pun jadilah. Dapat pula toko beras sebagai bonus, bila berhasil beristrikan dia. Jangan sampai Indra tahu, bakal mati kutu Mizan. Seumur-umur bisa dilarang Indra, kawan kita ini memegang bis ALS. Apalagi sampai menumpang. Kalau mau menangislah Mizan, menumpang motor bon (pen; angkutan kota) ke Medan. Apalagi sampai punya si Tape, matilah! Jalan lima meter, mogoknya sepuluh meter.
Akhirnya mereka tibalah di toko Iccah. Macam biasa sifat emak-emak rempong (bahasa gaul keluar) berbuallah orang itu. Entah apa yang mereka cakapkan. Dasar penjual beras, tak salah pula Iccah memasukkan beras ke mulut karung tepung yang dibawa Wak Midah. Tapi, tak penuh-penuh karung tepung itu.
"Ah, macam mana kau Wak Midah? Karung tepung kau tak penuh-penuh. Barangkali karung tepung yang bocor kau bawa," gerutu Iccah kesal. "Nah, apa kubilang, bocor, kan?" Hampir dua sukat (pen; alat seperi tabung, yang digunakan para penjual beras di Mandailing, berukuran sekitar lima liter) beras berserak di atas tumpukan beras Iccah.
Merah padam muka Wak Midah. "Alah Mak Jang. Aku pikir tadi aku membawa karung tepung, ternyata salah tarik dari lemari pakaian, ini ternyata celana sarusur (pen; celana dalam orang yang biasanya sudah berumur dan terbuat dari karung tepung) Ja Latong. Yah, matilah!"
Mizan tertawa. Dan tertawa terbahak-bahak pula dia bercerita di Lopo Sapangkek. Ja Limbat tak bisa menahan tawa. Yang lebih parah Wak Midah. Lantaran lucu cerita Mizan, dia terpaksa berlari ke Batang (pen; sungai) Gadis. Depan belakang rupanya sudah bocor.
Ja Limbat mengajak Mizan pulang. Biarlah besok lusa, mereka membayar mie rebus dan kopi susu. Kalau tak berutang, tentu bukan orang yang suka main di lopo. Itulah seni bermain di lopo Mandailing. Tapi, tentu saja tak pernah menggulingkan atau membuat lopo bangkrut alias tutup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H