Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang Setia

22 Agustus 2019   08:30 Diperbarui: 22 Agustus 2019   10:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga : Pemanggul Buku

Kau mungkin masih ingat lelaki itu. Ocan namanya, bertubuh sedang, nyaris proporsional. Dia datang setiap dentang jam berbunyi delapan kali, pada setiap malam Minggu. Selalu dengan tampilan sama dengan senyum tak beda. Dia setia dengan celana cutbray, atas mengerucut bawah terberai. Dia juga bangga dengan rambut belah samping, licin seperti habis dipel. Dia pengagum setia Tancho  Pomade berwarna hijau lumut, dan nyaris merontokkan bulu hidungmu. Parfum seribu bunga menabur seribu rasa yang membuatmu hampir muntah. Mungkin kau berpikir lebih baik meminum Antimo agar membunuh malam Minggu membosankan. Memberikannya putri tidur sebagai mana layaknya pengagum lukisan bergambar Monalisa.

Telah pula kau bosan menyuruh dia mengubah gaya. Entah berapa kali pula mengatakan kepadanya kau tak cinta. Tapi, tetap saja dia datang sambil mengucapkan salam. Menunggumu keluar dengan senyum paling Pepsodent di dunia. Kalian akan duduk di bawah pohon rambutan. Pasti banyak semut merahnya. Banyak pula nyamuk yang mengganggu pertemuan kalian. 

Kau berharap dengan begitu dia cepat minggat. Tapi, semut menyerah karena kulit lelaki itu alot bagaikan daging kurang masak. Harusnya  sebelum dimasak, dibungkus dulu dengan daun kates, agar tak banyak menghabiskan minyak tanah. Orangtuamu saat itu masih setia dengan kompor minyak tanah, meski mencari minyak tanah seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ocan pendukung setia kompor minyak tanah. Dia berceramah tentang lembutnya api kompor itu. Mungkin dia belum pernah mencoba bagaimana aku membenamkan kepalanya ke kobaran api kompor minyak tanah. Membakar habis rambutnya, merontokkan gigi, sehingga dia menjelma Kek Atok yang lupa pernah bisa bersiul.  Tapi, itu terlalu kejam. Aku menghapusnya buru-buru.

Mengenai nyamuk, sudah lama tobat mengganggu Ocan. Entah berapa ribu jarum suntik mereka patah saat menembus daging alot itu. Apabila jarum berhasil ditusukkan, bukan darah merah atau biru yang didapat, melainkan darah hitam berasa asam.

Dia pula yang setia membawa sekeping coklat ayam, dibalut pita merah muda. Tak jarang pula membawa kecap manis cap angsa atau kecap asin cap panah. Itulah pelet yang membuat orangtuamu klepek-klepek, lalu membuka pintu lebar-lebar untuk seorang Ocan. Padahal kau ingin mengusirnya setiap kali muncul di ambang pintu. Hanya saja ibumu selalu terseyum menyambut,  menyuruhnya duduk di ruang tamu. Meski ketika ibumu masuk ke kamar, disusul bapakmu, kau mengajaknya duduk di halaman. Lagi-lagi kau mengacungkan kain  putih pertanda menyerah menghadapi orang menyebalkan.

Pernah sekali dia sebulan tinggal di Medan. Kau berharap dia bersalin penampilan sesuai jaman. Tapi, pulang-pulang tak ada yang membuatmu bangga. Setidak-tidaknya memperkenalkan kepada teman-temanmu bahwa dia mantu Subrata. 

Biasanya sepulang dari Medan, orang akan mengolehi bika ambon atau bolu meranti. Akan hal Ocan malahan membawakan dodol picnic. Lagi-lagi orangtuamu memuji Ocan tahu selera orangtua. Memangnya yang mau menikah dengan lelaki buluk itu, kau atau orangtuamu?
"Aku punya pacar!" bentakmu padanya beberapa  malam Minggu sebelum dia tak kunjung lagi menginjak lantai rumahmu. Ada lelaki berambut gondrong bertampang trendy  di ruang tamu. Spaggetti dan pizza membuat orangtuamu klepek-klepek. Terkadang selera perut bisa mengubah selera mata. Kau berterimakasih kepada orangtuamu karena mereka telah menyelamatkanmu dari ombak tsunami, atau otak Sumanto.

"Aku bagaimana?" Wajahnya memelas. Air matanya seperti perlu diperas. Andai dia lelaki imut-imut, kau mungkin ikut menangis bombay. Tapi, ini lelaki amit-amit, jadi ke laut aja!

Ocan tak patah semangat. Malam minggu berikutnya dia membawa sepeda kumbang sang bapak. Sayang, dia kalah selangkah. Si gondrong trendy memarkirkan dengan bangga motor sport keluaran terbaru, sehingga membuat tetangga iri. Ketika Ocan membawa motor Honda Astrea, si gondrong membanggakan mobil mewah keluaran terbaru. Terakhir Ocan membanggakan bajaj pinjaman tetangga, si gondrong menyerah, karena tak mungkin membawa helikopter atau pesawat terbang. Pastinya dia tetap membawa mobil mewah keluaran terbaru. Tapi tetap pula hatimu jatuh kepada si gondrong, meski Ocan menyembah-nyembah.

O, ya. Sebelum lupa, pernah dua-tiga kali kau berkunjung ke rumah lelaki itu. Masih ada radio peninggalan Belanda di kamarnya. Ocan lebih suka mendengar radio Melayu ketimbang menonton tivi hitam-putih. Ocan juga masih merawat jam kikuk, juga pernah-pernik kuno. Pokoknya dia tetap setia dengan barang-barang lama. Katanya, dia suka bernostalgia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun