Telah serak suaranya. Telah kering tenggorokannya. Dia tetap bertahan. Dia berteriak terus, "Kotanopan! Kotanopan!" Hanya seorang-dua yang menyetop motor bon (pen; penyebutan untuk mobil angkutan kota), tapi akhirnya orang-orang memilih batal menumpang, karena gundukan dalam ember itu.Â
Siapa yang tahan mencium bau getah busuk. Ucok saja dari tadi sudah mau muntah. Tapi menyuruh ibu yang membawa dua ember getah itu menumpang motor lain atau truk, dia tak tega.Â
Dia teringat umak di rumah sedang terbaring lesu, menunggu hasilnya menjadi stokar (pen; kernet mobil) hari ini. Mungkin digenapkan dengan yang  didapatnya kemari-kemarin, ibunya bisa dibawa berobat.
Ibu yang duduk sendirian di motor bon itu, juga bernasib sama dengan dirinya. Dia pasti membutuhkan uang. Mungkin saja suaminya sedang sakit, dan menunggu uang berobat. Kalau tidak, bagaimana mungkin perempuan kurus itu nekad ke pasar Kotanopan demi menjual dua ember getah, yang pasti lumayan berat?
Akhirnya sampai juga motor bon di ujung pasar, persis di dekat jembatan, tempat biasa pasar getah. Ucok kasihan melihat ibu itu. Setelah dia turun, Ucok sigap mengangkat dua ember getah itu. Lalu diletakkannya di antara getah yang akan ditimbang. Sementara ibu itu masih sibuk mengais-ngais uncang dengan tangannya yang kurus.
Dia menatap Ucok. Wajahnya memalas. Firasat buruk menghinggapi pikiran Ucok
"Nak, uang ibu ketinggalan. Tunggu sebentar getah ditimbang, baru ibu bayar ongkos," kata si ibu malu-malu
 Hati Ucok bimbang. Apalagi sopir sudah memanggilnya terus dari jendela motor. Ucok bergegas, berlari kecil. "Nak, ongkosnya?"
"Biarlah,"jawab Ucok sambil menggantung di belakang motor bon. Pikirannya kacau. Bagaimana mungkin bisa membawa ibunya berobat. Dia tak punya uang lebih. Uangnya, lima ribu lecek di kantong, terpaksa dilego ke sopir untuk ongkos ibu tadi. Kalau tak dikasih, mungkin dia akan habis dimaki-maki. Baru menjadi stokar satu minggu, sudah berani memberi tumpangan gratis.
Hanya seratus satu ribu yang dia setor ke sopir, termasuk melego uang lima ribu yang lecek. Bagaimana mungkin dia dapat bagian. Yang ada hanya dikasih hutang oleh sopir. Setoran saja pas-pasan.
Ucok bertopang dagu di Lopo Sapangkek (pen; lepau orang sebaya). Musnah sudah niatnya membawa ibu berobat. Apa mungkin berhutang kepada Birin, sopir itu?
"Apa pula kau, Ucok. Macam ayam nelan karet kau kutengok. Santai saja. Happy! Tak usah kau pikirkan uang. Rejeki itu pasti ada, asal engkau berusaha." Birin merogoh kantongnya yang kudel. Dia mengeluarkan uang lima puluh ribu, dan menggengamkannya ke tangan Ucok. "Ibu kau kan sakit. Kau bawa saja dia berobat."
"Tapi bagaimana aku membayarnya?" tanya Ucok tak enak hati. Air matanya menetes menahan lara agar tak kentara merusak raga.
"Ah, banyak pula basa-basi kau. Basi kau nanti. Kau ambil uang ini, sudah selesai. Tak usah kau pusingkan masalah hutang. Aku kasih saja itu untukmu. Sekarang kita makan sate Padang. Tak pengen rupanya kau. Aku yang traktir."
***
Hidup pasti berubah. Kadang di atas, kadang di bawah. Kalau sedang di atas, jangan lupa melihat ke bawah. Kalau sedang di bawah, jangan merasa orang termiskin di dunia (pen; bukan judul lagu Hamdan ATT). Ucok yang dulu, bukan Ucok yang sekarang (pen; bukan lagu Tegar). Kejujuran dan ketulusan hati, telah menghantarkannya menjadi seorang sopir berkelas, sopir bis ALS jurusan Medan-Padang.
Sebenarnya, boleh dibilang hidup Ucok sudah agak mendingan, meskipun baru sekitar tiga tahun menjadi sopir ALS. Tapi, sampai sekarang, di samping kiri belum ada penghuni, alias belum beristri. Sudah berulang-kali ibunya menyuruh dia menikah. Usia tiga puluh tahun tidak dibilang muda lagi. Tapi, bagaimana mau menikah.Â
Dia sudah melihat beragam perempuan. Dari yang gemuk sampai kurus seperti papan. Dari yang tinggi sampai semekot (pen; semeter kotor). Dari yang bahenol, hingga berbentuk botol. Tapi semua hanya silau pada uang Ucok. Tak ada yang tulus. Ucok takut kalau beristri yang mata duitan, dia bisa seperti koruptor. Hanya kejujuran dan ketulusan yang bisa membuatnya berhasil.
Suatu pagi, saat libur sebagai sopir, dia bertandang ke Lopo Sapangkek. Sengaja dia meminta diputar lagu kira-kira begini bunyinya, "Si sopir motor do alakna. Pas do pira manuk di ujung tanduk (pen; si sopir motorlah orangnya hampir seperti telor ayam di ujung tanduk). Saat dia bernyanyi-nyanyi kecil itu, seorang ibu menepuk pundaknya.
"Hai, Ucok. Kau ingat aku, kan?" tanya ibu itu sambil tersenyum. Ingatan Ucok melayang ke beberapa tahun silam. Ibu tua, dua ember getah, uang lima ribu lecek.
"Oh, pasti ingat!" Ucok mengigit-gigit ujung kuku karena malu. Tabiat itu sangat tak bisa dia hilangkan. Ucok silau melihat perempuan berjilbab di sebelah ibu itu. Badan tinggi semampai, mata bintang kejora, bibir ranum dikulum, aduh bangun, Cok. Tak guna bermimpi di siang bolong. Mana mungkin dia mau kepadaku, batin ucok. Hidung tomat, kaki jerapah, mata jengkol, bibir seperti habis dipukul Mike Tyson. Legam tubuh hampir menyerupai pantat kuali.
Tapi Ucok menyabarkan hati. Tak ada manusia yang jelek. Semua manusia diciptakan sempurna. Merendahkan tampilan tubuh sendiri, sama dengan merendahkan Sang Pencipta. Astagfirullah. Ucok telah berpikiran melantur.
"Maksudku, aku ingin menitipkan putriku ini. Kau bawa dia ke Medan. Mau ke tempat Uwaknya. Bisa, kan! Aku percaya kepadamu," ucap ibu itu.
Ucok mengangguk pasti, tak perlu ditanya dua kali. Dia malahan tak sadar, saking gembiranya, hari itu mereka makan-makan. Semua yang sedang ada di Lopo Sapangek, dibayarnya juga.
Tak perlu hitungan bulan, kau sudah bisa mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada Ucok Bin Marucok dan Fatimah Binti Barkah. Itulah balasan uang lima ribu lecek yang puluhan tahun lalu Ucok gadaikan karena hati yang tulus. Yah, pemberian itu terkadang makbul bukan karena nilai yang banyak, tapi ketika kita menyerahkan sesuatu untuk maslahat orang lain, sementara kita sangat amat membutuhkannya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H