Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Pahlawanku] Sang Profesor

18 Agustus 2019   19:08 Diperbarui: 18 Agustus 2019   19:12 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dan tak perlu menjadi gembel karena harus berjalan telanjang kaki mengitari komplek, bercelana pendek, dan tanpa baju, semua menuruti petuah dokter agar sehat." Yang satu ini memang sering aku lakukan belakangan ini. Kolesterolku cukup mengkhawatirkan.

Saat Titok kembali ke kafe, kami stop perbincangan. Kami keliling Palembang menikmati senja yang semakin larut. Lampu-lampu di pinggir jalan mulai menggeliat. Titok  ternyata enak diajak mengobrol. Enak diajak bercanda. Tapi, diselang-seling canda, kata-katanya terkadang sangat bijaksana.

Kami berpisah setelah melaksanakan Shalat Maghrib berjamaah di Masjid Agung. Mereka pulang ke hotel, karena pagi-pagi harus pulang ke Tanah Abang nun di ujung Sumatera Selatan.

Aku pulang ke rumah dengan kelindan pikiran. Telah lama aku tak berkunjung ke rumah Kak Saf di pedalaman  Sumatera Selatan. Padahal setiap retak tangannya yang membantuku hingga bergelar sarjana. Tak pernah pula dia menagih kesuksesanku dari setiap butir padi yang dia olah dari tanah bajakan, bibit, hingga rumpun yang merunduk tersebab berat bulir-bulir.

Dia juga tak pernah membahas, bahwa dia ingin sekali mempunyai istri, meski sangat sederhana. Ingin banyak anak sebagai kembang warna-warni yang mengiasi rumah panggung peninggalan ayah dan ibu. Satu yang sedang aku dengar, dia sedang sakit-sakitan. Selama ini aku membantunya secara materil agar dia bisa menjalani hidup dengan tenang. Tapi, aku tak pernah membantunya secara moril, buah kata terima kasihku.

Itulah sebabnya setiba di rumah, aku memanggil istri ke ruang tamu. Aku mengatakan kangen dengan profesor. Biarlah aku meliburkan diri dari pekerjaan dan kesibukan lainya. Kapan lagi membahagiakan sang profesor. 

"Bukankah tadi sore mas sudah bertemu Profesor Lantam?" Istri menatapku heran.

"Lantaran si Lantam-lah aku teringat seorang profesor lain yang  luput dari ingatan."

"Siapa?"

"Kak Saf!"

Istri menatap heran. Aku membayangkan Kak Saf terbaring di lapik tipis. Kuciumi pipinya yang sangat tirus, mengecup cekung matanya, dan memeluk telapak kakinya yang selama ini sangat hapal, lekuk, onak, tanah dusun. Aku rindu profesor, pahlawanku; Kak Saf! 

"Eh, Ngomong-ngomong, Lantam tahu dari mana nomor teleponku?"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun