"Papa? Papa ini kenapa? Kenapa ngesot?" Istri mengguncang-guncang tubuhku. Ucapannya seperti di awang-awang, hilang tenggelam. Seperti kelapa hanyut di sungai, hilang terbenam.
Aku menceracau sambil memejamkan mata. "Kenapa tanganku kesemutan? Kenapa kakiku kesemutan?"
"Pa, ngucap, Pa!" jerit istri. Dia berlari ke ruang tengah. Pintu rumah tetangga dia gedor. Aku tiba-tiba terpejam. Tidur. Tak ingat apa-apa.
Setelah tangan halus menyentuh lenganku, barulah aku tersadar. Mata kubuka sedikit. Samar melihat siapa di depanku. Aku ingin menjawab pertanyaan orang itu, tapi hanya ceracauan yang keluar. Antara menyebut sakit dan rumah sakit.
"Kita ke rumah sakit saja, ya?" kata orang itu.
"Huh!" Aku menjawab seperti mengeluh. Aku mencoba berdiri, tapi tubuh sebelah kananku tak bergerak. Aku tercekat. Aku lumpuh.
"Waduh! Dia ini terkena stroke. Cepat bawa ke rumah sakit!" Orang itu melingkarkan lengan kiriku di lehernya, dan seakan menyeretku ke luar rumah. Seorang yang lain sudah menunggu di dalam mobil.
"Cepat kita bawa ke rumah sakit! Nanti keburu terlambat!" Entah siapa yang bicara aku tak tahu. Mataku terpejam. Tubuhku seketika menggigil antara tak tahan sentuhan angin malam dan deru ac yang menyembur badan.
"Ke mana kita?" Seseorang bertanya. Seseorang yang lain menyebutkan nama sebuah rumah sakit. Mataku tetap terpejam. Ac sudah dimatikan.
Aku coba membelalak, tapi lalu-lalang lampu kendaraan bermotor zig-zag dan membuat mataku pedih. Isi perut kurasakan bergoncang. Badanku oleng ke kanan, oleng ke kiri.
Sebentar mobil berhenti karena aku ingin membuang air kecil. Ternyata, ya Rabb. Aku juga tak bisa kencing seperti biasa. Aku masih di atas jok mobil, dan buru-buru istri mengambil botol air mineral.