Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harta yang Tak Ternilai Itu adalah Ibu

12 Agustus 2019   16:12 Diperbarui: 12 Agustus 2019   18:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti ada yang hilang dalam ceria anak-anak ketika kulihat dia bergerak ke sana-ke mari mengejar seorang anak yang super aktif. Menjaganya agar jangan sampai celaka. Mengajarinya jangan mengganggu anak lain. Dia mencoba tersenyum cerah, meski sekilat matanya, ada tersembunyi kesedihan.

Terkenang aku saat dia masih muda,  susah sangat mengandung sembilan bulan sepuluh hari. Terkenang aku bagaimana dia melawan rasa mual sangat menyela-nyela di antara aktifitas di dapur. 

Terkenang aku bagaimana dia melawan keinginan aneh-aneh yang membuat suaminya harus keluar malam-malam, meskipun hujan turun deras, meskipun mati lampu, meskipun berjalan kaki. Terkenang aku ketika dia bertarung dengan maut saat melahirkan. Wajah memerah. Urat memecah. Teriak membuncah.

Tapi semua demi satu tujuan, untuk menumbuhkan satu tunas baru yang akan memayungi angkasa. Yang akan memayungi hari-harinya kelak dengan ceria. Yang memayungi hari tua dari gundah dan serat usia yang mengumpan gelisah. Kendati ketika tunas berkembang, dia harus menyiramnya setiap hari. Ketika tunas berkembang dia harus memupuknya.

Anak yang nakal. Anak yang sering menghadiahkan kegelisahan ketika senja mengatap langit. Ini adalah suka-duka, setiap orang mengalaminya. Ini adalah berkah yang diingin dan disuka. 

Setiap malam tunas mengganggu dengan jeritan, dengan air mata, dengan air seni, dengan segalanya yang mengganggu berkah tidur. 

Setiap hari harus mengelus dada karena dilawan, karena ditentang, karena dimusuhi. Tapi pada akhirnya dia tersenyum ketika melihat tunas terlena. Matanya terpejam, mencium keningnya. Cinta itu selalu tak lekang.

Begitu besar menjadi pohon, makin sering keinginannya bertentangan dengan kata hati. Dengan pilihan pasangan hidup, dengan pilihan pekerjaan, dengan pilihan rumah. Perempuan berumur itu hanya mengelus dada. Mencoba tersenyum kepada alam. Bukan dia seorang yang menikmati ini. Banyak orang merasakanya. Tapi, mereka tetap tersenyum bahagia, entah dalam hatinya.

Saat  pohon mengakar, mengatap alam, dia berharap bisa berteduh pada rindangnya, menyandakan tubuh tua pada batangnya, mengharap tetes embun menjalar di daun dan jatuh di keningnya, ternyata tunas lain tumbuh dan terpaksa dia membantu merawatnya.

Aku bertanya pada ibu itu, "Cucunya ya, Bu?" Terdengar tangisan kesal seorang anak kecil. Dia mengangguk pelan. Dia bergegas mengejar anak itu. Menegurnya agar jangan mengganggu anak lain.

"Ya," jawab perempuan berumur itu setelah berada di dekatku. "Orangtuanya sedang kerja."

"Dua-duanya?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku membuang pandang karena mataku berkaca-kaca.

Betapa berat hidup yang dialami perempuan itu, bahkan jutaan perempuan lain. Ketika dulu sudah bersusah-susah mengandung, menyapih, membesarkan, mengawinkan anak, kapan lagi dia bisa menikmati hidup di ujung rentanya. Hidup berkalung ibadah, sebelum tangan maut mencerabut nikmat di dunia.

Apa yang engkau cari hai anak sibiran tulang? Harta dunia? Tak ada artinya semua itu. Harta dunia engkau kejar, sementara harta dunia dan akhirat kau tinggalkan, kau buat susah hidupnya, kau buat susah hatinya. Dia memang tersenyum menjalani semua yang engkau pintakan, tapi dalam hatinya engkau tak tahu.

Pada doanya, engkau bisa sukses. Pada senyumnya rejeki mengalir. Pada telapak kakinya engkau temukan surga.

Pada umpatnya,engkau bisa hancur. Pada cemberutnya rejeki mampat. Untuk apa engkau bersusah-payah mengejar harta dunia sementara harta dunia dan akhirat ada di depan mata.

Aku melihatnya tersenyum. Tetap tersenyum. Entah sampai kapan. Sampai engkau hanya bisa menatap sedih setelah gundukan tanah itu basah oleh tangis sesal.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun