Landung telah menunggu sekian lama. Melihatku datang dengan pakaian lecek, bukannya dia jatuh kasihan. Dia malahan mencak-mencak, meneriakiku tak menghargai waktu. "Ini hari Jum'at, Yes! Besok Sabtu. Minggu pagi, semua sudah beredar di tangan pelanggan. Ingat, Minggu, polisi sedang mendengkur!"
"Aku mengerti. Menemui Tuan Kalam memang membutuhkan banyak waktu," jawabku sekenanya. Kemudian kutenggelamkan diri di tengah tumpukan kertas-kertas yang harus dikoreksi.
"Huh! Kau pasti bercinta dulu!"
"Dengan siapa?" kejarku.
"Ya, aku tak tahu. Mungkin dengan kekasihmu, atau dengan Tuan Kalam?"
"Mana bisa!" Aku hampir terjengkang ketika Landung menghantamkan pintu ruangannya. "Brengsek!" geramku. Aku berharap memancar api cemburu di mata Landung, jika menyebutkan nama Tuan kalam. Tapi selalu tak terjadi. Matanya tak menyimpan sesuatu selain semangat mencari duit.Â
Semangat mencari-cari kisah vulgar yang membuat sensasi memabukkan. Oh, Tuhan! Kenapa aku harus tenggelam di dalam pekerjaan penuh dosa ini? Aku bosan, Tuhan. Aku kapok!
* * *
Tuan Kalam telah menungguku di depan pintu rumahhya. Melihat tubuhku yang lunglai dan pakaianku lecek, dia menyuruhku mandi dulu. Sebuah sabun bermerk Zest, diserahkannya kepadaku. Dan dia menungguku di ruang tamu sambil menyelesaikan seluruh lukisan pesanan.
Selepas mandi, kutemui dia sambil tersenyum cerah. Aku sudah berencana membuatnya mabuk kepayang dan mati malam ini. Di kantung celanaku sudah kusiapkan sebungkus obat perangsang dengan dosis tinggi.Â
Dia bisa membuat seseorang menggelepar dalam balutan nafsu. Jantungnya berdegup keras. Aliran darahnya memancar keras. Hingga di pucuk klimaks, saluran darahnya pecah-memecah. Ledak-meledak. Kemudian mati.