"Pantas saja kau semakin gemuk," kata Buddin sambil memukul pelan perut Ja Limbat.
Ja Limbat mulai mencondongkan kepalanya. Mulai serius dia. "Dengar, ya! Dengar baik-baik. Badanku saat sakit itu sangat panas, kau tarok telor di badanku, bisa masak. Bahkan ayahku sampai memasak di badanku. Maka hampir seminggu minyak tanah utuh. Segala makan dimasak ayah sambil melekatkan ke badanku."
"Wah, panas sekali badanmu. Untung aku tak datang menjenguk. Bisa terbakar aku," ucap Mizan tertawa.
"Pandai pula kau berkilah. Bukannya kau kedekut, pelit. Takut kau rupanya membawa oleh-oleh untukku." Ja Limbat tertawa. Orang lain terbahak. Mizan malu-malu kucing pergi ke pinggir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Jadi, bagaimana ayahmu mau memasak? Dia pasti terbakar juga karena tubuhmu yang panas?" tanya Buddin.
"Mulanya, dia memang coba-coba mendekat. Sampai hilang sebelah kumisnya, karena terbakar panas tubuhku. Akhirnya segala panganan, segala yang mau dimasak, dikirim lewat galah, lewat jendela kamarku. Begitulah berhari-hari. Dan sebagai bukti, badanku sampai bolong-bolong karena panasnya." Dia menunjukan bolong dihidung. Padahal sebenarnya bekas cacar (pen; campak) yang dia derita.
Lambat-lambat terdengar suara azan lohor. Lopo Sapangkek bubar.
"Besok masih ada kau cerita baru?" Mizan kembali seperti sedkia kala. Sudah hilang ke---ah, maaf---rasa malunya. Mereka berjalan pelan-pelan, keluar dari Lopo Sapangkek."
"Hai, Limbat! Kau ngutang lagikah hari ini." Wak Midah berkacak-pinggang.
"Wak Midah ini macam tak tahu saja. Aku belum sembuh benar. Aku takut kalau hangus pula uang yang kupegang." Ada-ada saja alasan Ja Limbat untuk berhutang. Wak Midah hanya mesem-mesem tak mampu berkata lagi. Ada-ada saja.
Note : (Cerita dari Mandailing) Diceritakan kembali oleh penulis