Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Haruskah Perceraian Itu Jadi Pilihan Terakhir

8 Agustus 2019   09:58 Diperbarui: 8 Agustus 2019   10:16 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah yang kuterima. Amarah bertimpa-timpa. Sumpah serapah menjadi santapan sehari-hari. Berujung tamparan dan sesekali tendangan. Kondisi tersebut membuatku mengeluh kepada seorang teman.

Temanku itu memberikan solusi untuk mengadukan Ilham ke pihak berwajib karena telah melakukan kekerasan dalam rumahtangga. Tapi setelah kupikir-pikir, dengan melaporkan perbuatan Ilham ke pihak berwajib, sama saja menghancurkan keluargaku. Hasil yang pasti, Ilham dipenjara. Lalu siapa yang membantuku menjalankan roda keluarga? Belum lagi kalau kami akhirnya bercerai dengan anak-anak yang masih butuh kasih-sayang seorang ayah.

Memang kalau aku mau, aku masih bisa mencari nafkah. Misalnya bekerja di usaha dagang yang kendalinya dipegang abangku. Dan mungkin tanpa aku bekerja pun, abang dan kakakku pasti mau membantu membiayai hidupku dan keponakan-keponakan mereka. Tapi itu sama sekali tak nikmat dijalani.

Belakangan aku memutuskan menjadi tukang kredit peralatan rumahtangga, juga perhiasan. Sebab kalau berharap kepada Ilham, sama saja seperti menggantang air dengan rantang yang bocor. Beruntunglah usahaku berjalan mulus. Begitupun itu membuat Ilham seperti iri. Harga dirinya sebagai suami seolah tercabik. Amarah, sumpah-serapah, main tangan dan tendangan tetap kuterima.

Pernah terbit keinginanku mengadu ke pihak berwajib. Namun tak jadi. Aku juga pernah ingin berbuat nekad, setelah membaca berita kriminal di koran. Bagaimana seorang istri membunuh suaminya dengan tali rapia sebab tak tahan disiksa terus. Keinginan itu membuatku bergidik. Aku tak mungkin menjadi pembunuh. Itu sama saja menjerumuskan seluruh keluargaku ke dalam jurang yang sangat dalam. Bagaimana kehidupan anak-anakku kelak? Bagaimana kejiwaan mereka?

Tak tahan sendirian memendam kesusahan terus-menerus, akhirnya aku bercerita kepada abang dan kakakku. Mereka kemudian turun tangan menasihati Ilham. Tapi dasar suamiku itu kepala batu, tabiat buruknya tetap harus kuterima dengan hati mendidih. Saran dari abang dan kakakku, akhirnya menyelesaikan semuanya. Aku meminta cerai saja darinya. Tapi haruskah perceraian  itu menjadi pilihan terakhir? 

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun