Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tujuh Belasan

2 Agustus 2019   14:23 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aji paling sebal setiap kali ada acara tujuh belasan di kampung sebelah. Suara mereka bising, mengganggu Aji yang asyik bermain playstation. Siang ini setelah upacara peringatan hari kemerdakaan Indonesia, kampung sebelah mulai ramai. Ayah dan ibu Aji ikutan ramai mempersiapkan panganan di ruang tamu.

"Untuk apa sih Ayah dan Ibu ke kampung sebelah? Hiii, seperti biasa Ayah dan Ibu akan main bersama orang-orang jorok itu. Kalau Aji, tak usahlah, ya! Lebih enak main playstation!" seru Aji sambil matanya tak lepas menatap layar televisi.

"Eh, nggak boleh begitu Aji," kata Ibu. "Kamu belum pernah melihat hebohnya pertandingan tujuhbelasan. Kalau Aji ikut, wah.... pasti ingin acara tujuhbelasan setiap minggu. Iya kan, Ayah?" Ibu menatap ayah. Yang ditatap hanya mengangguk pelan sambil memasukkan kue ke dalam kardus. Ayah dan ibu sering menyediakan panganan gratis untuk warga kampung sebelah.  Kata mereka hidup ini harus saling berbagi.

Aji mematikan televisi, lalu berjalan menuju kamar. Setelah ayah dan ibu pergi, dia menghidupkan playstation. Saat itulah dia mendengar suara ketukan di pintu depan rumah.

"Bik Nah, bukain pintu! Ada tamu!" Dia menjerit memanggil pembantu rumahnya. Tapi yang dipanggil tak menjawab. Suara ketokan itu semakin keras, seperti tak sabaran.

Aji berlari menuju pintu depan. Dia membukanya dengan tergesa. Wajahnya yang semula merengut, tiba-tiba berubah cerah. Ada Fuad di belakang pintu. Fuad teman sekolahnya. Ayah Fuad adalah atasan ayah Aji di kantor.

"Masuk, Fuad! Tumben ke mari. Tapi kebetulan sekali kau datang. Aku ada permainan playstation baru. Kita bisa main berdua." Aji mempersilakan temannya itu masuk. Tapi temannya itu tetap mematung di depan pintu.

"Aku ke sini bukan mau mendekam di kamarmu, Aji! Lihatlah udara cerah, dan semua orang bergembira merayakan hari kemerdekaan," jawab Fuad tersenyum senang.

Aji terdiam. Dia menebak Fuad akan mengajaknya ke kampung sebelah. Coba, untuk apa? Mereka tak cocok bermain dengan orang kampung miskin itu. Lagi pula, rata-rata permainan mereka jorok. Memanjat pinang yang dilumuri minyak gemuk, main bola di lapangan berlumpur, lomba menangkap belut. Huh, permainan apaan itu?

"Kau tak akan mengajakku ke kampung sebelah kan, Fuad?"

Fuad tertawa. Aji juga tertawa. Dia berpikir Fuad tak akan mau bermain dengan orang kampung sebelah itu. Ternyata salah. Fuad memang benar-benar ingin mengajaknya ke sana. Kalau Aji menolak, siap-siap saja Fuad membatalkan rencana mereka ke kolam renang minggu depan .

Setelah pintu depan ditutup Bik Nah, Aji malas-malasan berjalan di belakang Fuad. Saat mereka melewati penjual es doger, Aji bertanya, "Apa tak lebih baik kita minum es doger?"

"Tak mau!" ketus Fuad.

Mereka akhirnya tiba di tempat acara tujuhbelasan itu. Aji terbelalak. Beberapa anak yang sedang ikut lomba tarik tambang, ternyata tak asing baginya. Ada Ijal, Ropik. Abdi dan Iqbal. Bukankah mereka anak-anak yang satu komplek perumahan dengannya?

"Aji, ayo cepat ke sini! Kita kurang kawan. Kau juga Fuad, gabung dengan kami. Pokoknya kita harus juara tarik tambang. Hadiahnya satu lusin buku. Lumayan!" Ropik memanggil mereka. Aji mendengus. Hadiah satu lusin buku, apa hebatnya? Ayah Aji bisa membeli lebih satu lusin buku setiap hari.   

"Ayolah, Aji! Ikutan main. Pokoknya seru!" Ibu telah berdiri di belakang Aji. Karena malu didorong-dorong ibu, akhirnya dia ikut lomba tarik tambang. Kemudian dia ikut lomba lainnya, termasuk bermain bola di lapangan berlumpur. Anak-anak bergabung dengan bapak-bapak, bermain bola sambil mengenakan rok panjang yang disediakan panitia. Tentu saja sangat sulit bagi mereka untuk mengejar dan menendang bola. Akhirnya mereka selalu terjerembab. Atau, sesekali mereka bertabrakan. Tapi bukannya megaduh kesakitan, semua hanya tertawa kesenangan. Pokoknya seru sekali!

Pukul empat sore, acara tujuhbelasan itu usai. Aji memperoleh beberapa buku dan alat tulis. Ibu memperoleh satu panci dan satu kuali. Tak ketinggalan, ayah mendapatkan dua kaos oblong. Semua yang mereka dapatkan adalah hadiah lomba tujuhbelasan itu.

"Gimana, Aji? Besok-besok kalau ada acara apa saja di kampung sebelah, apakah kau ingin ikut?" tanya ayah saat mereka sedang bersantap malam.

"Ikut, Yah? Pokoknya seru sekali," jawab Aji sambil mengangkat jempol tangan.

"Lebih enak bermain di kampung sebelah apa mendekam terus di kamar sambil main playstation, Aji?" Kali ini ibu yang bertanya seperti menyindir. Aji tersipu malu, lalu membenamkan kepalanya di dekapan ibu.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun