Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Kau Cari, Palupi?

30 Juli 2019   04:10 Diperbarui: 30 Juli 2019   10:18 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Kau tahu, suamiku? Aku benci tempat ini. Kemarin orang yang tinggal di sebelah kamarku, mati. Dia sudah mulai berbau ketika ditemui kejang di kamar mandi. Keluarganya tak ada yang datang. Hanya transferan yang diterima suster kepala, serta pesan singkat lewat ponsel, mengabarkan bahwa anaknya sedang di luar negeri, sedang jalan-jalan.

Ada juga pesan, semua biaya akan dintransfer lagi, bila tak cukup untuk prosesi pemakamannya. Dia sekarang tinggal di gundukan sederhana di belakang aula panti werdha, di bawah pohon kamboja yang malas berbunga.

Aku bertambah takut sekiranya itu terjadi padaku. Seluruh penghuni panti werdha akan heboh karena menemukanku kejang di kamar mandi. Anak-anak dan keluarganya membiarkan aku sampai keras di tempat persemayaman. Tapi, aku lebih beruntung dari orang yang mati di sebelah kamarku. 

Jasadku memang dibawa pulang setelah aku tak lagi diperlukan. Ada orang-orang yang dibayar untuk memuluskan prosesi pemakamanku.

Aku tak tahu apakah anak-anak dan keluarganya ikut menyalatkanku. Atau hanya tangis mereka saja yang keluar, bukti mereka masih terlahir dari rahim ibu, bukan dari pokok bambu.

Suster kepala meneriakkan tiba saatnya seluruh penghuni menikmati asupan kacang ijo. Aku menatap Maya. Dia mengerti maksudku. Kami menunggu seluruh orang memasuki aula. Sesuai janji tadi pagi, aku akan menemuimu, dan dia menjumpai suaminya. Kutanya, apakah dia sanggup tak memakai kursi roda. Dia memastikanku bahwa dia bisa mempergunakan tongkat. Kami menyelinap dari rimbun bunga begitu suasana amat sepi.

Kandre pernah mengatakan kalau ke pemakaman, kami harus menumpang angkot 61, berwarna biru tua. Untunglah setiba di pinggir jalan, angkot itu muncul terseok-seok, dan berhenti tepat di depan kami.

"Mau ke mana, Mbah?" tanya sopir sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela angkot.

"Pemakaman kamboja!"

"Malam ini?"

"Memangnya ada masalah bagimu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun