Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Kau Cari, Palupi?

30 Juli 2019   04:10 Diperbarui: 30 Juli 2019   10:18 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku ingin kau hadir di rumah kita pada malam itu, ketika geleser ban mobil mengurai batu koral, ketika langkah kakimu menghalau dingin. Pintu pun terbuka. Lampu-lampu taman menyeruak masuk. Juga angin yang mengabarkan malam akan hujan.

Kau mendaratkan kecup ringan di pipi, setelah teh hangat menjalari liang lehermu. Dan meja makan menyambutmu. Semangkok sop akan menghangatkan makan malam yang terlambat. Kau menanyakan tentang Ibo. Bocah kecil itu bergegas merampungkan mimpi yang tanggung. Dia berulangkali menguap. Mendekap lingkar perutmu yang mulai membesar, mengalahkan lingkar perutku.

Kutahu dengkur halus Ibo mengabarkan dia melanjutkan keping mimpi yang terserak tentang negeri di awan. Kau akan menyudahi suapan terakhir. Menanyakan kabar kandunganku. Menanyakan tentang ngidamku. Kau yakinkan aku, bahwa kau akan mencarinya. Meski hanya sampah dan tikus tua  yang tinggal di pasar-pasar, menjaga malam hingga fajar. Pasti tak ada yang kau cari di sana, selain membuntal angin, menyerahkan selarik kecewa, yang kau faham akan tumbuh di mataku.

Aku tak ingin menumbuhkan kecewa itu. Kau menggendong Ibo, memberikannya pada sang malam agar menjaga tidurnya yang lelap. Aku sempatkan bertanya tentang air hangat dan bathub menggoda. Kau hanya mengulum senyum. Dingin seperti kelewat nakal. Dan kau lebih nakal dengan matamu yang binal.

Saat kau mengganti cahaya 18 watt dengan 5 watt. Saat kau berusaha menggendong tubuhku yang katamu bertambah berat. Kau geli, menyerah, takut encokmu kumat. Aku berbaring, menunggumu turun ke ranjang. Membiarkan aku melabuhkan kepalaku di dadamu yang bidang. 

Selalu begitu setiap malam ketika kau harus menyerah pada sang lembur. Meski cara menikmati sisa malam itu, kita bisa mengubah-ubah menu agar tak jenuh.

Tapi, malam ini semua itu seperti lenyap dalam kotak pandora. Kau belum juga pulang. Anak-anak pasti sibuk dengan keluarganya, setelah mereka mengecupku mesra lewat horn telepon. Aku juga telah menghabiskan susu hangat. Aku juga telah merasa berulangkali  menamatkan novel kesayangan kita. Meski aku hanya berkutat antara halaman satu dan dua.

"Apa yang kau cari, Palupi?" Maya mendekatiku, kepayahan memutar roda kursi dorongnya. Roda kursi dorong itu berkarat di beberapa bagian. Kandre telah berulangkali lupa meminyakinya. "Kalau kau mencari majalah, semua sudah diserahkan ke tukang loak oleh Kandre." Dia menepuk-nepuk punggung tanganku.

Lalu, kami membisu. Aku memikirkanmu kenapa tak pulang-pulang. Mungkin Maya juga bepikir tentang suaminya. "Bagaimana dengan rajutanmu?" tanya Maya.

"Rajutan? Hmm, lupakan rajutan itu! Plus kaca mataku sepertinya bertambah. Aku salah merajut, dan harus memulai dari awal."

Kami terdiam lagi. Aku mengambil tongkat, mendekati pot kembang. Aku menyiramnya dengan air di gayung yang selalu setia mendampinginya. Maya tiba-tiba kembali dengan kesibukan barunya; bernyanyi sambil mengetuk-ngetukkan ujung kaki ke bawah meja. Suaranya fals, dan telingaku sakit mendengarnya, meski tak ada niatku melarangnya bernyanyi. Aku tak ingin menyakiti orang lain. Tapi, bukan berarti aku tak pernah disakiti mereka. Anak-anak telah berusaha membunuhku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun