Aku berjalan terseok mendorong gerobak jualanku. Di dekat lelaki setengah baya, aku melihat ada lapak yang lowong. Dia sedang duduk sambil menata jualannya. Sabtu pagi lumayan cepat terik. Lalu-lalang pembeli kemudian berhenti di toko-toko sekelilingnya. Tak pula dia hirau. Begitu damai wajah bapak itu. Begitu semangat geraknya menghadapi pekan yang mungkin tidak memihak kepadanya. Aku  ingin membantu, membeli sebagian jualannya. Tapi.... Ah, sudahlah! Sengaja aku mendekat. Manampar-nampar pantat celana, lalu berjongkok di depannya.
"Mau beli apa, Mas? Ini tembakau kualitas bagus. Pokoknya tidak kecewa membelinya." Dia mengangsurkan sejumput kepadaku, dan mengatakan harganya.
Aku tersenyum. "Kenapa Bapak masih berjualan tembakau? Padahal di sekeliling Bapak banyak toko yang menjual rokok. Dari yang kretek, hingga filter. Dari buatan dalam negeri, hingga luar negeri."
Aku teringat kakek yang paling senang merokok tembakau dengan balutan daun nipah. Nenek juga sering menyuginya, sehingga ludahnya memerah seperti sedang menyirih. Aku dan cucu mereka juga senang bermain rokok-rokokan, tapi sebatas daun nipahnya saja. Sementara tembakaunya, wuek, rasanya sangat tak enak. Ayah dan paman hanya terdiam saat kami mencoba membuat bulat-bulatan dari asap. Entah kenapa mereka membiarkan kami berbuat begitu. Tapi, jangan sampai kami ketahuan merokok buatan pabrik. Yakinlah, besok hari betis kami akan birem, karena disebat ibu masing-masing memakai sapu lidi. Sementara ayah kami, muntahlah amarahnya, dan kami bertobat tak akan melakukan lagi. Â
Zaman ayah, tak ada lagi  niatannya merokok tembakau berbalut daun nipah. Dia lebih suka menghisap kretek. Sementara saya sudah lama puasa merokok
"Kenapa pula saya risau? Semua ada yang mengatur. Kalau pun hari ini tembakau saya tidak laku, saya tetap bersyukur. Untung saja saya masih bisa berjualan karena badan mendukung. Semua terserah Allah. Apa saya harus menuntut semua jualan ini laku, sementara Dia menentukan hari ini pembeli saya tak ada? Hidup hanya dijalani, diusahakan. Hasilnya tak perlu kita sombongkan apabila berhasil. Tak pula kita susahkan kalau pun gagal."
Aku kemudian menggelar lapak pakaian sambil beriul-siul. Berharap hari ini aku beruntung banyak. Meski aku tak yakin pakaian ini akan laku, bersaing dengan toko-toko pakaian yang amat menarik hati. Tapi, setelah berbincang sebentar dengan lelaki setengah baya tadi, aku menjadi pasrah. Apapun hasilnya, aku harus bersyukur.
Dua jam lamanya, tak ada yang singgah di lapakku. Sementara aku merasa terkejut, ketika lelaki setengah baya itu permisi pulang duluan. Tembakau yang dia jual sudah habis diborong orang dari kota. Akan hal aku menjadi risau. Mendung mengggelayut di Timur. Sementara tak ada selembar pakaian pun yang laku. Hampir saja saya merutuki nasib. Hanya saja teringat perkataan lelaki setengah baya tadi, aku tetap bersemangat sambil bersiul-siul.
Seorang lelaki muda---tampaknya dia seorang guru---tiba-tiba mendekatiku. Dia menanyakan apakah aku menjual kaos putih. Kebetulan aku memang banyak membawanya. Semua kaos putih  diborong. Katanya untuk pakaian olah raga,
Saat hujan deras turun, aku bisa tersenyum, dan menggulung lapak, beranjak pulang ke rumah. Kugenggamkan uang ke tangan pengemis yang lewat. Biar pun hujan mulai turun lebat, tetapi ketika Allah menetapkan rezeki si pengemis itu, yakinlah pasti tak akan terlewat.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H