Mendadak sentuhan hangat singgah di bahu saya, saat seseorang itu menyampirkan sweater, membuat saya kikuk. Bang Arnal tak boleh melihat saya menangis. Saya bersyukur masih ada yang perhatian kepada saya, meskipun dia sebatas abang sepupu. Kalau saja dia sedang tak merayakan ulang tahun pernikahan perak dengan makan malam di restoran seromantis ini, mungkin saya sedang sendirian di rumah, sibuk menggonta-ganti channel tivi. Berharap malam gegas digantikan pagi.
O, ya. Bang Arnal tua setahun dari saya. Kami selalu sekelas hingga SMA. Ketika kuliah, kami terpaksa berpisah karena berbeda jurusan. Tapi anehnya, kami dipersamakan  lagi saat menikah. Dia menikah sebelum Jum'at sebab abangan, dan saya menjelang ashar, di hari yang sama. Itulah mengapa dia dan istrinya merayakan ulang tahun pernikahan perak malam ini.
Saya memiringkan kepala, bersandar di tangan Bang Arnal yang kukuh. Apakah ini kelewat manja? Mungkin tak ada salahnya bermanja sebatas abang dan adik sepupu.Â
Tapi, ketika tangannya turun ke pinggang, dan memeluk saya, sontak saya tercekat. Saya berusaha merenggangkan pelukannya, hingga ketika dia mengucakan kata sayang, sebaliknya saya ingin dia memeluk semakin dalam. Selamanya!
Dia mempersilahkan saya masuk ke dalam restoran, seiring tepuk riuh membahana. Kami duduk di meja nomor lima, dan dia mendudukkan saya dengan mesra.
"Mas, kau mengerjaiku. Aku amat tersanjung." Tangan saya menjalar di meja. Meremas tangan Mas Anggoro.
"Seni sesuatu itu terletak pada kejutannya. Dan aku ingin meminta maaf, karena telah menganggurkanmu beberapa tahun belakangan ini." Saya tersenyum senang. Mas Anggoro beralih meremas tangan saya. "Aku melihat almanak dilingkari dengan tinta marah. Dan aku mulai merasakan kita semakin jauh berjarak. Karena itu aku akan mengambil cuti sebulan khusus untuk keluarga. Mulai bulan depan aku akan stay di kota. Biarlah urusan luar kota, karyawa yang mengurusi."
Tiba-tiba terdengar ramai teriakan, "Potong! Potong!" Seseorang membawa tumpeng bertuliskan angka 25 di atasnya.
Mas Anggoro berdiri, memotong empat piring tumpeng. Satu untuk saya, satu untuk dia dan dua piring untuk anak-anak kami.
Di sudut lain, Bang Arnal berbuat serupa. Dia mengacungkan jempol ke arah Mas Anggoro, dan mengedip nakal kepada saya.
Saya memeluk Mas Anggoro sambil berbjsik, "Aku sayang kepadamu, Mas. Besok aku akan behenti dari pekerjaanku, untukmu, dan anak-anak."