Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Mau Menang Sendiri

27 Juli 2019   18:12 Diperbarui: 27 Juli 2019   19:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan setelah hengkang, aku puas. Aku bebas mengatur hidupku. Aku memiliki gaji. Aku bisa membiayai seluruh kebutuhanku sehari-hari. Dari bayaran kos, makan-minum, beli pakaian, ngedugem, ke restoran, pacaran, beli hp. Pokoknya bebas sebebas-bebasnya. Hingga setelah hampir tujuh bulan tak tinggal seatap dengan kedua orang tua, aku mulai merasa gamang menjalani hidup ini.

Lelaki-lelaki yang semula mengaku sebagai pacar dan takluk kepadaku, lambat laun menghindar dan menghisap bunga lain. Aku meradang. Aku kesepian. Ternyata lelaki-lelaki itu mengalami titik jenuh juga. Jujur saja, ada beberapa lelaki yang dekat dan menjadi pacarku dalam waktu yang bersamaan. Aku merasa itu suatu kehebatan. Dan aku tak perduli apakah hati mereka sakit atau tidak.

Dalam kekalutan, aku teringat mama. Aku teringat papa. Berbilang bulan aku hanya beberapa kali menjenguk tanpa berusaha menginap di rumah mereka. Betapa kasarnya aku. Betapa egoisnya aku. Yang lebih parah lagi, seorang lelaki yang pernah menolak cintaku, sekali waktu menceramahiku habis-habisan. Aku dibilang perempuan tak tahu diri. Perempuan yang mau menang sendiri. Perempuan yang tak tahu terima kasih atas jasa-jasa yang telah diberikan orang tua dengan ikhlas kepadaku. Oh, begitu jahatkah aku?

Dengan menekan ego, akhirnya beberapa bulan lalu, aku menemui mama dan papa. Kuutarakan bahwa pikiranku sedang kalut. Aku tak tahu mau berbuat apa lagi demi melenyapkan segala yang membanduli isi kepalaku.

Mama yang pertama merengkuh bahu dan merebahkan kepalaku di dadanya. Katanya, sejak kecil aku memang telah menjadi seseorang yang selalu ingin menang sendiri. Mama merasa bersalah, karena tak pernah lebih keras menasihatiku. Menarikku dari kebiasaan buruk itu. Malah dia selalu membela dan memperturutkan kemauanku. Hingga ketika aku dewasa, dia sama sekali sekali tak sanggup lagi mengubah perilaku burukku. Aku telah mengeras serupa batu.

Mama menanyakan apakah aku tetap rajin shalat. Aku hanya menggeleng jengah. Sejak kapan aku rajin shalat? Seumur-umur paling aku hanya ikut meramaikan shalat idul fitri dan idul adha. Atau sekali-sekali ikutan tarawih karena terpengaruh teman-teman untuk sekadar bersenang-senang. Mengenai puasa, aku memang mengaku melakukannya rutin sejak aku baliq. Tapi itu sebatas pengakuan. Aku hanya berbohong. 

Mama dan papa menyuruhku tinggal seatap lagi dengan mereka. Selain bisa dekat terus denganku, setidak-tidaknya mereka bisa mengubah perilakuku ke  arah yang lebih baik. Tentunya dengan tambahan, mama mengundang seorang lelaki untuk mengajari tak hanya aku, juga mama dan papa agar lebih mendalami segala sesuatu tentang agama Islam.

Alhamdulillah, dua bulan setelah tinggal seatap dengan mama dan papa, aku mulai merasakan ada perubahan ke arah lebih baik pada diriku. Pertama, sifat egoku mulai pupus. Keinginan menang sendiri dengan menempuh berbagai cara (dari halal hingga haram) pun lambat laun terkikis. Kedua, aku mulai rajin shalat, mengaji, berderma dan puasa sunat. Ketiga aku mulai merasakan bagaimana mencintai orang dengan tulus.

Ya, mencintai orang dengan tulus. Sebab jujur saja, lelaki yang mengajari kami mendalami agama, diam-diam aku cintai dan rindui. Dia bukan lelaki kaya. Dia hanya ustadz yang sekali-sekali diundang berceramah di masjid. Tapi aku selalu merasa teduh di dekatnya. Begitu pula mama dan papa. Bahkan mereka tanpa malu-malu mengatakan bahwa bila aku ada hati kepada lelaki itu, untuk apa menunggu lama. Segera saja utarakan perasaan agar dia selekasnya meminangku.

Tapi hingga sekarang rasa cinta ini tetap kupendam. Mungkin suatu saat cinta kami akan bertaut. Biarlah aku hanya menunggu sampai dia yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Aku ingin menjadi perempuan beradat ketimuran. Oh, Tuhan. Terima kasih atas rahmat-Mu memberikanku kesempatan untuk bertobat.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun