Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Mau Menang Sendiri

27 Juli 2019   18:12 Diperbarui: 27 Juli 2019   19:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Setiap orang berhak untuk berusaha menjadi yang terbaik dalam kehidupan ini. Tak terkecuali aku. Berbagai cara harus diupayakan sehingga segala impian berubah nyata. Oleh sebab itu, dari kecil aku orangnya ngotot. 

Ketika sekolah SD saja, kalau ada yang lebih pintar dariku di kelas, aku pasti berusaha mengalahkannya. Tak perduli harus mencontek saat ulangan. Bahkan sebagai pamungkasnya, sebelum menerima rapor, biasanya aku mengajuk kepada mama. 

Aku memintanya memaksa guru wali kelas meninggikan nilai raporku melebihi yang lain. Meminta dengan memaksa di sini tak lain adalah mempergunakan uang. Anehnya, guru-guru wali kelasku dari kelas satu sampai kelas enam, mau saja diperalat uang. Jadilah aku selalu menjadi juara pertama setiap menerima rapor.

Saat SMP keinginan menjadi juara kelas terus, lambat laun memudar dari benak ini. Aku mulai disibukkan pamer harta di sekolah. Setiap kali ada teman, misalnya tasnya lebih bermerek dariku, aku pasti mengajuk ke mama agar membelikanku yang lebih bermerek dan mahal dari situ. Bila teman-teman ada yang diantar jemput ke sekolah memakai mobil, aku juga berbuat serupa. Meski kerap papa  menggeleng-geleng karena tingkahku membuatnya sering terlambat masuk kantor, dan harus sesekali menyelinap ketika jam kerja.

Papa berusaha menegurku. Hanya saja mama membela. Mama sangat menyayangiku. Walaupun dia mengakui apa yang kuperbuat sama sekali tak benar, dia toh tak bisa berbuat banyak. Menolak artinya membiarkanku mengambek. Mengambek artinya aku tak mau keluar kamar dan enggan makan dan minum. Hasilnya mama yang kelabakan membawaku ke dokter bila tubuhku lemas dan panas. Itulah yang ditakutkannya sehingga mungkin sangat terpaksa menuruti semua kemauanku.

Saat di SMA, kegiatan pamer harta lenyap sudah. Aku mulai mengenal cinta dan asmara. Setiap kali ada teman lelaki yang macho di sekolah, pastilah aku yang lebih dulu berjuang mendapatkannya. Tak peduli aku mesti keluar duit banyak demi merayu si lelaki. Padahal tanpa sadar, bisa saja mereka hanya ingin memoroti uangku. Mereka hanya berpura-pura mencintaiku, tapi sesungguhnya hati mereka teruntuk yang lain.

Sepupu perempuanku pernah mengingatkan agar aku jangan terpedaya oleh para lelaki yang mencoba memanfaatkan kebodohanku. Hasilnya, aku dan sepupuku bertengkar. Dia kulabrak habis-habisan, dan kami bermusuhan sampai berbilang tahun.

Mama yang mulai menua ketika aku kuliah, ternyata tak betah lagi menuruti seluruh keinginnanku. Dia sesekali mengingatkan agar aku sadar bahwa apa yang kuperbuat itu tak benar. Seperti berhura-hura dengan lelaki pujaanku. Membayar dosen agar mengatrol nilaiku menjadi melulu A. Sayangnya, peringatan mama tak membuatku sadar. Malahan aku menjadi kesal karena dia ibarat duri yang menghalang-halangi langkahku.

Sebab itulah, ketika aku meraih gelar sarjana ekonomi, kemudian bekerja di instansi pemerintahan (dengan menyogok sekian puluh juta rupiah) kuputuskan hengkang dari rumah. Aku telah bosan dikungkung terus. 

Aku tak ingin setiap hari mendengar nasehat-nasehat papa. Seperti kalau ada kesibukan di luar sana, jangan lupa pulang ke rumah sore-sore. Kalau ada puluhan teman yang kelihatan setia kepadaku, harus pandai memilih salah seorang yang memang berhati tulus. 

Kemudian nasehat-nasehat mama yang menurutku sangat kolot. Misalnya kalau perlu aku berjilbab saja keluar rumah. Aku harus ingat terus melaksanakan shalat. Aku harus berpuasa di bulan Ramadhan. Harus bersedekah. Oh, betapa pening rasanya mendengar ocehan yang serupa air comberan memasuki telinga ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun