Tak perlulah mengungkap ini kepada khayalak ramai karena hanya aib yang terceritakan. Tapi rasa duka yang terlipat-lipat, sungguh tak dapat ditutupi, sehingga dengan goresan pena ini setidak-tidaknya beban di hatiku sedikit ringan demi menata hari depan yang lebih cerah.Â
Sepuluh tahun lalu, aku bukanlah seorang perempuan yang penuh keluh-kesah. Hari-hari yang kulewati penuh warna. Tak hanya kehidupan bersama orangtua yang membuatku nyaman, tapi di lingkungan pergaulan pun kurasakan cita rasa yang sangat nikmat.
Aku seorang anak orang cukup berada dan memiliki wajah lumayan cantik. Tiada pula terhitung laki-laki yang mencoba merayu dan memilikiku. Bahkan meski gadis kampung, banyak pemuda kota  "naik gunung" demi melamarku. Tapi hatiku tiada bergetar. Aku sudah memiliki tautan hati seorang pemuda tampan yang rumahnya hanya kelang lima rumah dari rumahku. Dia juga masih ada hubungan kekerabatan dengan keluargaku.
Begitulah, ketika waktu menemui masanya, aku pun dinikahi laki-laki itu (sebut saja namanya Prakas). Pesta pernikahan lumayan mewah digelar. Sanak-famili berkumpul seraya masing-masing melemparkan puja-puji. Kami ibarat pinang dibelah dua kata para tamu. Bukan karena wajah kami serupa, namun tersebab kami sama-sama rupawan.
Mahligai rumah tangga pun kami lalui dengan aman-bahagia. Prakas sangat mencintaiku, begitu pula diri ini. Tersebab ingin mandiri sekaligus tuntutan pekerjaan Prakas, akhirnya kami pindah ke kota. Berbulan dilalui tanpa masalah. Anak pertama kami lahir menambah meriah suasana rumah.
Namun saat anakku berusia tiga tahun lebih, kejadian menyesakkan dada itu terjadi. Aku mengalami kecelakaan lalulintas kala sedang berjalan-jalan santai dengan anakku mengendarai sepeda motor. Beruntunglah anakku hanya lecet-lecet. Tapi aku mengalami  naas yang sempurna. Wajahku mencium aspal. Menggeleser hampir lima meter, sehingga dapat dipastikan wajahku terluka cukup parah. Aku berharap taklah sampai mengurangi kecantikanku. Sayang, aku hanya berharap, tapi kondisi buruk harus kuterima. Wajahku tak cantik seperti dulu, kecuali dipenuhi sekumpulan carut-marut.
Ketakutan akhirnya melindas hari-hariku. Bagaimanapun seorang istri yang awalnya rupawan, kemudian buruk rupa, pastilah menimbulkan efek buruk bagi suami. Aku  yakin Prakas kehilangan rasa cintanya lebih dari limapuluh persen. Tentu dia segera berpaling ke perempuan lain, dan waktunya tiba aku pasrah pada nasib yang mencincangku.
Nyatanya aku salah. Bukannya kehilangan cintanya, malahan Prakas semakin menggebu mengasihiku. Entah itu murni kasih-sayang, atau hanya wujud belas-kasihan, aku sendiri tak tahu. Yang terpenting dia tak berpaling dariku.
Delapan belas bulan sesudah kecelakaan itu, bertemulah aku dengan Ani (nama samaran temanku) yang juga mengalami nasib sama sepertiku. Dia telah mengalami kecelakaan parah. Bekas lukanya nyaris memenuhi tubuh kecuali wajah. Kami pun saling berkeluh-kesah sampai ke masalah kadar kecintaan suami setelah kecelakaan yang merenggut penampilan kami.
Jujur kukatakan bahwa Prakas tetap mencintaiku. Namun Ani menanggapinya dengan senyum tawar. Menurutnya, rasa cinta suami terhadap istri yang mengalami kecelakaan dan mengakibatkan cacat di tubuh, tentunya akan berkurang. Suami diam-diam mencari pelampiasan di luar sana.Â
Oleh karena itulah, demi menjaga keutuhan rumah tangga, sudah sewajarnya istri rela bahkan menyarankan suami mencari perempuan lain untuk menjadi "madu". Ya, ketimbang suami menggerayangi lokalisasi, kemudian membawa penyakit ke rumah, tentulah lebih bagus dia menikah lagi. Â Atau, misalnya rumah tangga berakhir dalam perceraian, pastilah kondisinya lebih buruk. Anak-anak hidup tak karuan. Jiwa mereka tercerai-berai.