Padahal ketika sudah menjadi pemimpin, kita lupa. Kita juga amat sering sangat dekat dengan rakyat ketika kampanye. Sebagai perwujudannya, kita tak malu-malu turun ke lokasi kumuh, pura-pura akrab dengan kaum marjinal. Padahal di dalam hati tak murni. Ketika terpilih menjadi sang pemerintah, maka kebanyakan akan mantap di kursinya yang empuk. Menghitung untung-rugi, lalu berkorupsiria.
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa masing-masing mereka, bahkan kita semua harus memberangus topeng-topeng kepalsuan itu dari sekeliling kita. Biarlah topeng-topeng tetap pada kodratnya. Menjadi pakaian para super hero  di kisah-kisah ilusi. Atau menjadi pelengkap seni rupa atau tari. Sebagai pajangan yang enak dipandang.Â
Sebab bila masih terus digunakan, topeng-topeng akan menghancurkan kemaslahatan umat di negara ini. Semua hanya pendusta, pembohong kelas kakap. Menggunting di balik lipatan. Berkata seperti benar, padahal dusta.
Ya, apalah salahnya kita mencoba jujur. Jujur bahwa amat susah mengurusi negara yang carut-marut ini. Jujur bahwa wajah kita memang bopeng-bopeng. Dengan saling jujur, maka timbul saling percaya. Dengan saling percaya, timbul kerjasama. Dengan kerjasama, muncul kejayaan negara, sehingga akan terpandang di seluruh dunia. Menjadi negara makmur dan bukan korup. Maka bila ingin semua terwujud, silahkan mulai detik ini bukalah dan buanglah topeng-topeng yang kita kenakan!
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H