Topeng menjadi pilihan demi menyamarkan wajah, seperti yang dilakukan super hero dalam kisah-kisah ilusi. Atau tak jarang dia menjadi pelengkap karya seni, seperti seni rupa atau tari. Anehnya, di jaman yang serba carut-marut ini, topeng menjadi sedemikian laris.Â
Bagi orang-orang yang ingin maju dan sukses secara instan, maka topeng merupakan kebutuhan pokok. Tanpa topeng, seseorang itu akan lamban maju. Dia sering terjegal karena terlalu polos dan jujur menunjukkan wajah. Dia segera tersingkir dari pergaulan, apalagi bersinggungan dengan tampuk--tampuk pemerintahan dan politik.
Maka, banyaklah rakyat yang tertipu akan topeng pemerintahnya. Ketika bertemu di suatu kegiatan, si pemakai topeng (baca; pemerintah), kelihatan begitu tulus dan jujur. Padahal di sebaliknya, dia amat beringas dan lihai menunggu rakyatnya lengah. Ibarat kata, wajah yang terlihat serupa kelinci, tapi di baliknya tersembunyi rupa sang rubah yang licik.
Setiap menjelang pemilihan umum seperti, topeng-topeng semakin laris-manis di pasaran. Para calon yang berambisi memegang tampuk pimpinan suatu daerah atau negara, mulai berakting layaknya aktor. Mereka menjambangi setiap panggung-panggung mempergunakan topeng. Mereka menjual visi-misi seolah milik merekalah yang terbaik. Semua demi kemaslahatan rakyat. Semua demi kemajuan daerah ataupun negara. Pemerintah hanya sebagai pelayan, rakyatlah sang majikan.
Padahal kenyataannya itu hanyalah nonsens semata. Nol besar. Dalam pikiran mereka, bagaimana caranya memperoleh tampuk pimpinan. Kursi yang empuk serupa sofa raja-raja.  Tak perduli akhirnya jalan pintas yang dilalui. Sikut kiri-kanan. Cari modal  dengan hutang sana-sini. Kemudian menghamburkannya kepada rakyat seolah mereka sang deramawan, hero.Â
Padahal ketika orang-orang itu telah memperoleh keinginan masing-masing, maka topeng pun dibuka. Mereka mulai bertindak buas. Memberlakukan peraturan dan perundangan seenak perut, yang ujung-ujungnya demi pemenuhan isi kocek. Rakyat dicekik, diperas sampai terpekik. Harga-harga dipermainkan. Emosi diayun ke sana-ke mari. Belum lagi proyek-proyek besar bermunculan, dengan dana di mark up. Kas daerah dan negara dihambur-hampurkan sambil memberikan laporan fiktif.
Kenyataan ini amat memprihatinkan. Wajar saja negara kita  menjadi negara korup. Negara miskin yang hidup di daerah kaya-raya. Bagaikan ayam mati di atas lumbung padi. Akibatnya, bertumbuhanlah rakyat-rakyat apatis-anarkis. Kriminalitas melonjak tajam. Kepribadian baik merosot. Bertebaran orang-orang putus asa yang rela menghabisi nyawa sendiri karena persoalan sepele.
Masihkah kenyataan ini kita biarkan terus berlarut? Masihkah kita tak sedih melihat rakyat terpaksa memakan angin? Kalau memang tak ingin kondisi yang buruk ini terus berlanjut, sebaiknyalah para calon maupun pemegang tampuk pimpinan, mulai membuang topeng-topeng yang dipakai selama ini. Tunjukkanlah wajah kepada rakyat. Jangan bersikap seperti bunglon. Katakanlah yang pahit itu bila kenyataannya pahit. Katakanlah yang manis itu bila kenyataannya manis.
Semuanya itu dimulai dari daerah terkecil bernama keluarga. Seorang suami harus jujur kepada istrinya. Di rumah mengaku tak selingkuh, di luar rumah memang kenyataannya demikian.  Istri juga berbuat seperti itu. Terhadap anak-anak  harus jujur. Menyuruh mereka berbuat baik, sementara kita tidak, tentu tak menghasilkan perbaikan yang maksimal. Yang ada kehancuran merajalela.
Apabila kita semua telah berhasil melepas topeng-topeng di hadapan keluarga, kemungkinan besar di lingkup lebih luas seperti kabupaten maupun propinsi, kita dapat berbuat serupa.
Oleh sebab itu, sekali lagi, topeng-topeng yang selama ini dipakai, marilah dihanguskan. Ketika sibuk berkampanye di panggung politik, usahakan jangan mengumbar omongan. Saya akan membuat ini, saya akan memberi itu.Â