Leder tertawa lagi. "Sudah! Anak lima orang. Kau?" Jelas aku menggeleng. Setelah Safitri meninggal dunia saat kami belum mempunyai anak, saya masih trauma untuk menikah lagi. Saya pikir tak perlu menceritakan ini kepada Leder.
"Kau tahu nggak tukang sulap tiga puluhan tahun lalu itu? Anggota mereka yang perempuan dan sepantaran kita itu, sekarang menjadi mamanya anak-anak. Dunia memang tak selebar daun kelor, tapi sewaktu-waktu dia tak lebih selebar daun kelor!."
Saya terpana mendengarnya. Tambah terpana lagi ketika dia blak-blakan tentang pekerjaannya di perusahaan kontraktor itu. Hampir semua proyek disulapnya. Harga proyek milyaran, bisa disulapnya menjadi ratusan juta. Kayu jati bisa disulapnya menjadi kayu racuk.
"Kau belajar...." Ucapan saya terpotong.
"Semua itu bisa disulap dengan ini!" Dia mengeluarkan segepok uang dari dalam tasnya. Lalu menggenggamkan uang itu ke tangan saya." Dia mengantarkan saya sampai ke parkiran, sekalian dia ingin berangkat bertemu klien dari pemerintahan di sebuah hotel. Rencananya mereka akan kongkalikong menyulap anggaran dana proyek. Tentu saja dengan memark-upnya.
Saya merasa risih mengantongi uang pemberian Leder. Begitu mobil mewahnya hilang di ujung jalan, saya menyerahkan uang segepok itu kepada seorang pengemis yang tiba-tiba jantungan. Saya menyetop taksi, dan melaju.
Setahun kemudian ketika pesawat saya sedang delay, Leder saya lihat di tivi. Berbaju oranye. Dia terkena OTT oleh KPK.
"Operasi tukang sulap lagi," celetuk orang di sebelah saya. Tiba-tiba saya bertambah benci tukang sulap.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H