Aku langsung naik pitam. Aku telah dibohongi mentah-mentah setelah terbuai oleh kekayaan semu dan iming-iming yang setiap waktu mencekoki otak ini sehingga aku terpedaya, Oh, Tuhan, kenapa bisa sampai begini?
Andi meminta maaf. Dia mengatakan bahwa kedua orangtuanya juga bukan pebisnis. Mereka tinggal di dusun, menjadi petani karet dan kopi. Tapi dia serius mampu memenuhi kehidupan kami. Lagi pula, dia bukanlah pekerja melainkan pemilik bengkel. Kalau aku memang kecewa berat, dia tak sanggup menolak bila aku meminta bercerai saja.
Tapi aku tak mungkin sanggup setelah menjalani semua ini. Apa kata orang-orang? Apa yang dirasakan kedua orangtuaku? Oh, Tuhan aku tak bisa berpikir jernih lagi. Bila bercerai masalah tak akan selesai, malahan semakin bertambah.
"Kalau aku tak berbohong, mana mungkin kau bisa kudapatkan. Padahal, setelah pertama bertemu dirimu, aku langsung jatuh hati," katanya dengan tatapan polos kala itu.
Ya, buat apalagi, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang sepuluh tahun lebih berlalu, ternyata hidup kami damai-damai saja. Kami telah memiliki tiga orang anak. Usaha bengkel Andi semakin maju. Ternyata menerima seseorang itu apa adanya, lebih baik daripada selalu berharap atas apa yang tak mungkin dipersembahkannya. Kebohongan Andi hanyalah jalan untuk menyadarkanku bahwa hidup ini tak selalu bertumpu pada gemerlap harta, meski tak bisa dipungkiri menjalani hari-hari memang butuh biaya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H