Kutunjukkan foto Andi di dompetku ketika dia memaksa ingin bertemu langsung dengan kekasihku. Sontak dia terbelalak. Dia merasa samar mengenal lelaki di foto itu. Setahunya, Andi hanyalah pekerja bengkel yang pernah bertemu dia dua atau tiga tahun lalu.
Sempat juga aku terkejut mendengar perkataan temanku. Berarti selama ini Andi berbohong atas kekayaanya yang berlimpah. Lalu, bagaimana dengan rumah, mobil dan orangtuanya? Memang selama berulangkali berkunjung ke rumahnya, selalu ada mobil mewah yang sama terparkir di sana. Kami biasanya jalan-jalan mempergunakan mobil kantornya yang selalu berganti-ganti. Sedangkan bertemu orangtuanya, sekalipun aku tak pernah. Dia sama sepertiku, hanya anak tunggal dalam keluarga. Bedanya, aku bisa berkumpul dengan orangtua, sedangkan bapak-ibunya sering ke luar propinsi demi mengurus bisnis mereka. Praktis dia belum bisa mempertemukanku dengan calon mertua. Meski sekali dua mereka pernah meneleponku.
Apakah Andi hanya mendustaiku atas segala cerita dan iming-imingnya selama ini? Tapi aku tak bisa langsung percaya dengan temanku itu. Walaupun semasa esde kami cukup akrab, dia adalah perempuan pencemburu. Dia selalu tak senang melihatku bisa lebih hebat darinya. Terkadang karena cemburunya mengubun, dia sengaja mengataiku di depan teman-teman. Namun waktu itu aku bersabar saja.
Mungkin kali ini dia juga cemburu, sehingga harus menjelek-jelekkan Andi. Meski barangkali penghasilan suaminya dengan kekasihku itu setali tiga uang, tapi aku lebih unggul. Andi bekerja di kota yang sama denganku. Otomatis untuk memantau dan memperoleh kasih-sayangnya secara optimal, lebih mungkin terwujud. Tak ada istilah selingkuh-selingkuhan, karena aku bisa mengawasinya terus-menerus. Aku dan anak-anak kelak bisa menggelayut manja setiap hari atas limpahan cintanya.
Jadi kukesampingkan saja cerita temanku. Ya, kebanyakan orang memang tak senang melihat orang lain bahagia.
Hampir setahun lebih berpacaran, akhirnya Andi menikahiku. Saat lamar-lamaran, ibuku sempat berusaha menyadarkanku di kamar. Dia heran melihat orangtua Andi tak seperti orang kaya kebanyakan. Gaya mereka udik, cara bicara mereka juga tak menunjukkan orang elite. Ibuku yakin kalau Andi hanyalah seorang pembohong.
Tapi aku tak percaya terhadap tebakan ibu. Menurutku banyak orang kaya yang bersikap seperti orangtua Andi. Harta mereka saja yang melimpah, tapi penampilan tetap ndeso. "Mereka hanya ingin kelihatan sederhana," ucapku kala itu. Ibuku pun maklum.
Sebulan kemudian, digelarlah pesta pernikahan yang cukup meriah. Semua biaya ditanggung oleh ayahku. Karena menurut ayahku, harta yang dikumpulkannya hanyalah untuk anak semata wayangnya. Setelah aku siapa lagi yang membutuhkan biaya banyak? Tak ada!
Hampir seminggu tinggal di rumah kami, akhirnya Andi memboyongku ke rumahnya. Tapi dua temannya tetap berada di situ, sehingga aku merasa risih. Kukatakan baik-baik kepada Andi supaya dia menyuruh dua temannya pindah saja.
Jawaban dari Andi hanyalah anggukan ragu-ragu. Anehnya, bukan mereka yang angkat kaki, melainkan kami berdua yang harus pindah dan tinggal di rumah kontrakan pinggiran kota. Saat itulah hatiku berontak. Aku mulai curiga dan mencoba membongkar rahasia yang disimpannya selama ini kepadaku.
Ternyata semua itu adalah bohong besar. Dua temannya itu adalah pemilik rumah sebenarnya, termasuk mobil mewah itu. Sedangkan mobil Andi yang bergonta-ganti adalah mobil pelanggan di bengkelnya. Kiranya apa yang dikatakan teman esdeku seratus persen benar.