Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Hanya Melihat Gelimang Harta

15 Juli 2019   13:05 Diperbarui: 15 Juli 2019   13:37 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5d2c02f8097f3652184d3072/pengabdi-ilmu-klenik 

Hampir semua perempuan, menurut saya, merasa bahagia bila mendapatkan seorang kekasih yang sudah mapan. Artinya bukan hanya mapan secara lahiriah, tapi batiniah juga. Sebab tujuan akhirnya adalah berumahtangga, dan menjalani hidup penuh rasa tanggungjawab. Seandainya sang kekasih tak mapan, misalnya secara lahiriah, bagaimana untuk menghidupi keluarga setelah berumahtangga? Dapur harus tetap mengebul, anak-anak mesti sekolah. Itulah yang menyebabkanku memilih Andi (nama samaran) sebagai kekasihku di antara lelaki yang pernah mencoba mendekatiku sekian tahun lalu.

Memang dia bukanlah tipe lelaki yang kuidamkan. Wajahnya biasa-biasa saja. Kulitnya cenderung gelap. Tubuhnya tak proporsional. Terlalu kurus untuk tinggi badan seratus tujuhpuluh sentimeter. Tapi ketika pertama kali dikenalkan teman di suatu pesta pernikahan, hatiku langsung berlabuh kepadanya. Dia berbicara santun. Senyumnya selalu menyemburat setiap kali berbicara denganku. Terlebih-lebih, saat aku hendak pulang ke rumah, dia malahan menawarkan mengantarku dengan mobil mewah. Coba, siapa yang mampu menolak? Meski pura-pura malu, aku tetap meletakkan bokong di jok mobil yang lembut.

Andi pun menceritakan kehidupan pribadinya. Dia seorang lajang berusia sekitar duapuluh tujuh tahun. Bekerja di perusahaan ekspor-impor sebagai manajer keuangan. Lahan basah katanya. Mobil yang dikendarainya mobilnya sendiri, sebagai hasil dari kerja-kerasnya selama ini. Dia juga telah memisahkan diri dari kedua orangtuanya dan tinggal di sebuah komplek perumahan elite.

Aku paling tak tahan dengan bau tajir demikian. Biasanya aku langsung kesengsem. Wajar saja rata-rata temanku mencapku materialistis. Melihat uang saja mataku langsung biru. Tapi, semua itu kan hal yang wajar? Untuk hidup lebih sejahtera, butuh dana yang tak sedikit. Butuh kerja-keras sampai berdarah-darah. Hidup tak bisa hanya mengandalkan kegantengan sang kekasih. Hidup juga tak bisa dengan memakan cinta.

Keakraban aku dan Andi terjalin secepat kilat. Tiga minggu sejak perkenalan pertama, dia mulai berani mengencaniku Sabtu malam. Dia juga langsung bisa beramah-tamah dengan kedua orangtuaku. Dan yang lebih menggairahkan, saat akan pulang setelah kami makan martabak kari di pinggiran jalan protokol, dia langsung menembakku. Tentu saja tanpa ragu-ragu kuterima cintanya.

Hanya saja, ibuku sepertinya kurang sreg dengan penampilan dan gaya bertutur Andi. Menurut ibuku, dia terlalu norak. Senang menceritakan harta-benda yang dimilikinya, terutama keberhasil-keberhasilannya sebagai manajer keuangan di perusahaan tempatnya bekerja. "Kau harus hati-hati. Kau harus selidiki latarbelakangnya," nasehat ibuku kala itu.

Ibuku mungkin hanya was-was saja. Orangtua mana toh yang tak menginginkan anaknya bahagia dan sukses? Namun untuk seorang Andi, dia tak bisa berbuat banyak. Dia hanya ingin meyakinkanku apakah memang sudah siap hidup dan mati demi seorang Andi. Kujawab saja; siap!

Hubungan percintaan kami berjalan langgeng. Namun setelah berbilang bulan menjadi kekasihku, dia tak sekalipun mengajakku ke rumah orangtuanya. Memang ke rumahnya sendiri, aku sudah pernah. Rumahnya lumayan bagus. Hanya saja ada dua lelaki yang tinggal di situ. Kata Andi itu teman-temannya. Mereka hanya senang menginap di situ. Bila kelak kami menikah, mereka pasti langsung angkat kaki.

Saat aku semakin lengket dengannya, bahkan sudah merencanakan segera menikah, bersualah aku dengan seorang teman semasa esde. Dia sudah menikah dan memiliki momongan. Suaminya seorang nakhoda, dan sangat jarang bisa berkumpul bersama. Katanya, meski berlimpah harta, tapi perasaan sering tak bahagia. Terkadang dia menyesal mengapa dari dulu senang menunggu kekasih yang kaya. Ujung-ujungnya sesudah menikah, dia pula yang memendam kecewa. Lagian, dia ragu, apakah suaminya tetap setia ketika berlayar dan singgah di pulau-pulau yang jauh. Itu rawan selingkuh, dan rata-rata pekerja kapal memang senang melakukannya.

Dia bertanya tentang siapa kekasihku, sekaligus menyarankan agar aku menunggu lelaki yang biasa-biasa saja. Yang penting tetap semangat bekerja serta dan memiliki segudang rasa sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun