Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meski Menjanda Aku Tetap Tegar

13 Juli 2019   21:55 Diperbarui: 13 Juli 2019   22:27 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Setelah menjanda hampir lima tahun, begitu banyak problem hidup yang melanda hari-hariku. Dari mengurusi kebutuhan dua anak, sampai menahan gunjingan dan kecemburuan perempuan-perempuan tetangga. Tapi aku selalu berusaha tegar. Aku menganggap semua itu cobaan, sehingga sekarang aku tetap mampu bertahan.

Awal kemelut yang menimpaku, seperti kuceritakan sebelumnya, terjadi sekitar tahun 2005. Suamiku War (nama samaran) mengalami kecelakaan lalulintas ketika bertugas di luar kota, persisnya di kota J.

Kala itu aku sangat gundah. Aku yang ditinggal di kota P tak bisa berpikir jernih. Kehendak hati menjenguk War di rumah sakit, terpaksa ditegah. Aku tak tega memboyong dua anakku yang masih balita.

Sementara untuk meninggalkan mereka, pun lebih tak tega. Kepada siapa mereka kutitipkan, sementara aku dan War hanya perantau di kota P? Orangtua dan sanak kami berada jauh di tempat lain Akhirnya aku pasrah saat dua hari berselang terkabar War meninggal dunia.

Setelah penguburan suamiku, berminggu aku gamang. Anak-anakku terbengkalai hidupnya. Untunglah menjelang minggu kelima aku tersadar. Kegamangan tak akan menyelesaikan masalah. War tak mungkin kembali lagi. Hendak pulang ke rumah orangtua, tentu mustahil.

Mereka hidup melarat, dan aku tak ingin menambah kemelaratan mereka. Sedangkan niat menetap di rumah mertua, kubuang jauh-jauh. Perkawinanku dan War sejak dulu tak mendapat restu dari mereka. Bagaimana mungkin setelah War meninggal, aku berani menginjak dan menetap di rumah mereka?

Meskipun sedikit malu, aku mencoba membuka warung pinggiran di depan rumahku. Jualannya tak begitu bermacam. Hanya gado-gado, mie goreng serta minuman berupa teh, kopi atau susu. Aku tak berharap banyak. Yang penting dengan berjualan, aku bisa menghidupi keluarga, sementara uang peninggalan suamiku dapat disimpan demi biaya sekolah kedua anakku.

Alhamdulilah, ternyata baru berjualan dua hari, pelangganku mulai ramai. Rata-rata tukang becak, ojek atau sopir angkutan umum. Entah karena jualanku berasa nikmat, sehingga pelanggan betah membeli di warungku, aku sendiri tak paham. Kondisi demikian patut disyukuri. Kesibukan berjualan membuatku dapat menghilangkan gundah kehilangan War.

Sebulan-dua berselang, banyak permintaan pelanggan agar aku membuka warung sampai malam. Sebab sebagian besar dari mereka bertugas hingga larut. Tentu keuntungan yang kudapatkan bertambah banyak. Namun bagaimana dengan anak-anak? Siapa yang menemani mereka bercengkerama, padahal siang harinya aku tak sepenuhnya bisa bersama mereka?

"Mbak mempekerjakan pembantu saja!" Begitu usul salah seorang pelangganku. Kupikir-pikir benar juga. Menggaji seorang pembantu taklah masalah, bila dengan bantuannya keuangan keluargaku semakin sehat. Akhirnya aku membuka warung sampai jam sembilan malam.

Jualanku pun ditambah variasinya; goreng-gorengan dan bandrek. Pelangganku bukan lagi dari kalangan menengah ke bawah, tapi orang-orang berpunya mulai senang mangkal di warungku selepas maghrib. Ada-ada saja alasan mereka singgah. Mulai dari sekadar melepas kepenatan. Atau hanya ingin mencicip masakanku sembari bermain kartu domino.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun