Ternyata tinggal bersama kakek, sedikit-banyaknya membuatku tenang. Kakek tak seperti ayah dan saudara-saudaraku. Dia tak pernah menganggapku si pembawa sial. Malahan dia mencapku pembawa keberuntungan, sebab aku telah meringankan bebannya mengelola tambak ikan dan kebun karetnya.
Sayang sekali, belum puas mencecap kedamaian, kakek tiba-tiba meninggal dunia. Tak bisa menolak, aku harus kembali ke tengah keluargaku. Kembali dalam cengkeraman ayah yang pemarah. Kembali bersama saudara-saudara yang menganggapku hanyalah musuh dalam selimut.
Berhubung ketakutan demi ketakutan membayang-bayangiku pabila kembali ke tengah keluargaku, akhirnya aku minggat ke kota J. Aku menetap di rumah salah seorang adik ayah di sana. Ayah amat berang. Dia menyuratiku dan mengatakan aku adalah anak bajinga.Â
Anak yang mempermalukan keluarga. Katanya, bila aku tak kembali ke tengah keluarga kemudian meminta maaf atas perbuatan lancangku, aku akan diputus dalam silsilah keluarga.
Mungkin karena trauma tinggal bersama ayah dan saudara-saudaraku, aku tetap tinggal di kota J. Aku bekerja di sebuah perusahaan sebagai kurir. Cukuplah meringankan beban adik ayahku. Sementara hubunganku dengan keluarga kandungku terputus sampai setahun.
Berhubung cara kerjaku bagus, pihak perusahaan menaikkan jabatanku menjadi staff kantor. Jelas, itu membuat hidupku lebih nyaman. Aku mengirimi sebagian gaji pertamaku kepada ayah. Tak banyak, tapi jadilah mengobati amarahnya terhadapku.
Ternyata ayah mengembalikan uang kirimanku Dia telah menganggapku tak ada dalam keluarga Mabara (nama samaran ayahku). Dia pun menyusulkan surat yang bunyinya sangat menyakitkan walau sudah berulang-ulang kudengar dari mulut ayah, "Pembunuh ibu!"
Ah, aku harus tabah. Aku berdoa kepada Tuhan agar ayah dan saudara-saudaraku memaafkanku. Hingga hampir tiga setengah tahun di kota J, kuberanikan kembali menemui ayah. Penyebabnya aku telah mendapatkan jodoh di kota J. Aku ingin ayah mengenalnya, serta merestui rencana pernikahan kami.
Ternyata ayah tetap memendam kebencian yang amat dalam padaku. Dia tega-tega mengusirku dan bakal istriku. Betapa sakit hati ini. Aku ingin marah-marah dan mencerca ayah. Hanya saja aku tak mau menjadi anak durhaka. Bagaimana pun kejamnya ayah, dia tetap ayah yang telah membesarkanku. Dia juga yang sekaligus menjadi ibuku.
Pilihan terakhir kembali ke kota J. Aku menikahi Prit (nama samaran istriku) tanpa restu seorang ayah. Tanpa di hadiri saudara-saudara kandungku. Namun aku tetap tabah. Suatu hari nanti, pasti mereka menyadari bahwa apa yang mereka perbuat adalah salah besar.
Kucoba melupakan persoalan-persoalan dengan mereka. Aku harus lebih fokus memikirkan keluargaku dan masa depan kami. Kalau mengenai bersilaturahmi ke negeri asal, mungkin menunggu moment yang tepat. Misalnya setelah istriku melahirkan anak kami yang pertama. Karena menurut rekan-rekan kerjaku, salah satu yang bisa memadamkan amarah orangtua adalah munculnya seorang cucu.Â