Aku memang si pecundang yang dianggap keluarga sebagai pembuat malang. Sejak dilahirkan aku telah dicap pembawa sial. Padahal lahirnya manusia  ke dunia ini, tak ada yang membawa kesialan. Semuanya membawa manfaat, kecuali si manusia itu sendiri yang membelot ingin menimbulkan masalah.
Ketika aku lahir, ibuku meninggal dunia karena kelelahan dan keluar darah banyak. Itulah yang diingat keluarga, terutama ayah, bahwa notabene akulah penyebab kematian ibu. Kalau saja aku tak lahir, ibu pasti masih hidup hingga sekarang.Â
Tapi adakah sesosok bayi mempunyai kuasa membunuh ibunya? Tuhan telah mengultimatum usia manusia dengan takdir-Nya. Sesosok bayi tak memiliki kuasa apa-apa.
Tapi dasar kebencian telah mengarat di hati ayah dan saudara-saudaraku.. Aku harus tabah menghadapi orang-orang kalap seperti mereka. Anggap saja mereka hanya lalai, atau salah menyikapiku.
Puas dengan cap sebagai pembunuh ibu, saat esde kembali problem besar melandaku. Penyebabnya karena aku berkelahi di sekolah. Awalnya bukan niatku terlibat perkelahian. Namun tersebab tak ingin temanku dikeroyok anak-anak lain, aku membantunya.Â
Alhasil, salah seorang pengeroyok babak belur dan kepalanya mengeluarkan darah. Itulah yang membuatku dikeluarkan dari sekolah, tentu setelah ayah hampir tiga kali diwanti-wanti guru agar mendidikku.
Ayah benar-benar berang. Kembali cap pembunuh ibu dikoarkan. Dia juga mengatakan menyesal memiliki anak sepertiku. Di antara saudara-saudaraku, akulah yang sering membuat kesalahan. Akulah yang tak memiliki otak cerdas. Aku si anak bodoh sekaligus berandalan. Begitu aku mengalaskan bahwa perkelahian itu terjadi karena sekedar membantu teman, ayah tetap tak terima. Begitu juga saudara-saudaraku.Â
Sebagai jawaban terakhir, ayah tak lagi menyekolahkanku sampai dua tahun. Menjelang tahun ketiga barulah aku disekolahkan lagi dengan ultimatum jangan sampai membuat onar kalau tak ingin menjadi anak putus sekolah.
Kondisi sedikit tenang sampai lima tahun berselang. Selanjutnya kejadian tak mengenakkan terjadi lagi. Aku tak sengaja menabrakkan sepeda motor kesayangan ayah sampai ringsek. Tentulah amarahnya langsung meledak-ledak. Dia sampai mengucapkan kata-kata yang pedas menyilet telinga, "Aku lebih memilih kau yang celaka ketimbang sepeda motorku ringsek."
Aku sakit hati. Lebih sakit hati lagi ketika dengan tegas ayah mengirimku ke rumah kakek di kampung. Ayah merasakan tak sanggup lagi mengajariku. Aku terlalu bandel. Aku selalu membawa sial dalam keluarga. Padahal setahuku semua itu tetaplah Tuhan yang mengatur. Tapi aku tak ingin menambah dan memperuncing masalah. Aku langsung ke rumah kakek dengan perasaan lunglai.