"Eh, Mang Jagat! Aku mau ke pasar," jawabnya manja.
Apa? Mang Jagat? Memangnya aku mamang becak?
"Sama, dong!"
Aku merendengi langkahnya. Kami berbincang akrab. Terkadang diselingi canda. Pandanganku berkali-kali melirik betisnya. Berkali-kali aku coba mengelus dada.
Andainya dia menjadi istriku, mungkin gula aren terasa coklat. Biarlah sehari-hari aku yang turun ke pasar. Memasakkannya makanan mengundang selera.
Tak akan kubiarkan betisnya berseliweran di dapur. Kalaupun harus ke dapur, akan kubentangkan karpet merahnya. Kuserahkan dadaku untuknya berlabuh. Kuberikan bahuku untuknya bergantung. Bergantung? Aku lekas menghapus kata itu. Minah tak bisa disandingkan dengan yang ada di kebun binatang.
Pokoknya jiwa-ragaku khusus untuknya. Amangoiii!!!
"Mang Jagat mau beli apa? Aku mau beli ikan."
"Apa yang akan kubeli tadi, ya! Sekarang aku rada pikun. Aku ikut neng ajalah sekalian mengingat-ingat apa yang akan kubeli." Otak kucing memang lincah kalau ada ikan di atas meja. Biarlah aku mengekorinya. Membawa kantong kresek ikan sarden. Membawa sekarung beras ukuran sepuluh kiloan. Abang kuat kok. Hahaha, apapun akan kulakukan untuk perempuan yang kuncintai. Ketika dia membeli kacang panjang, aku pura-pura teringat kacang pancang. Ketika dia makan tekwan, aku memang ingin makan.
“Makan tekwan ya, Mang!”
“Hmm, maaf aku tadi kelupaan bawa uang.”