Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu dan Lelaki-lelaki yang Mengelilingi

10 Juli 2019   16:24 Diperbarui: 10 Juli 2019   16:34 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
simbol ilustrasi: pixabay

Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Itulah pameo yang selalu didengung-dengungkan orang terhadap jati diri seorang ibu. Tak ada niat di hatinya selain ingin melihat anak-anaknya sukses dan bahagia. Meski demi terwujudnya niat tersebut, dia rela menarung keringat, darah, bahkan bila perlu nyawa. Tapi apakah salah bila aku menganggap hanya neraka yang terpampang di bawah telapak kaki ibuku? Dialah yang melahirkan dan membesarkanku. Dia pula yang memupuk timbunan kebencian di hatiku atas jati diri seorang ibu.

Ketika berusia enam tahun, aku memang merasakan ibu adalah orang yang paling hebat dalam hidupku. Dia cantik. Bahkan ayah menyayanginya setengah mati. Apa saja keinginan ibu, selalu dituruti ayah.

Menginjak usia delapan tahun, lambat-laun rasa kagumku terhadap ibu mulai pupus. Bagaimana tidak. Teman-teman esde selalu menyebarkan gosip bahwa ibu bukanlah orang baik-baik. Dia sering bertandang ke rumah bapak si anu atau pemuda itu. Walaupun aku belum paham apa arti perselingkuhan, namun pikiran kanak-kanakku  telah mengerti bahwa perbuatan ibu sama sekali tak benar. Maka, dengan keluguanku, aku menanyakan maksud ibu sering bertandang ke rumah bapak si anu atau pemuda itu. Jawaban darinya hanya amarah meletup-letup. Hasilnya dari siang sampai lepas maghrib aku dikurung di gudang beras tanpa makanan maupun minuman.

Manakala kami pindah dari kota PS ke kota S tersebab ayah dimutasikan kerja, tabiat ibu menjadi. Aku sering memergoki ibu membawa lelaki ke rumah ketika ayah tak ada. Hatiku sakit. Apalagi tiga bulan setelah tinggal di kota S, ayah mengetahui kelakuan tak benar dari ibu. Dari pertengkaran-pertengkaran kecil, belakangan berujung perceraian. Aku sedih. Tapi apa yang mesti dibuat kekanak sepertiku, selain manut ikut ibu, sementara ayah melanglang entah ke mana.

Otomatis kami tak memiliki tempat tinggal tetap. Mau kembali ke kota PS, ibu malu. Beruntunglah ada kerabatnya di kota tersebut, sehingga ada tempat untuk bernaung. Walaupun tempatnya buruk dan di lingkungan kumuh, tak menjadi soal bagi kami. Apalagi ibu akhirnya bisa berjualan pecal dan mie goreng yang hasilnya lumayan laris. Jadilah kami tak menyusahkan kerabat ibu. Malahan kami bisa membantu perekonomian kerabat tersebut meskipun tak seberapa.

Tentang masa suram ibu mulai kulupakan. Dia kelihatan sangat jauh berubah. Hari-harinya hanyalah berjibaku mencari uang demi melanggengkan pendidikanku hingga tamat esde. Tentu tak ada jeda baginya untuk berbuat nakal dengan lelaki  nakal. Hanya saja, setamat aku esde, ibu memberikanku kenyataan yang sangat pahit melebihi empedu. Tanpa memberitahuku, dia menikah dengan Saoto (nama samaran bapak tiriku yang pertama). Kemudian kami berdua diboyong ke rumah Saoto. Tentu berjualan pecal dan mie goreng harus dihentikan. Saoto menginginkan ibu hanya mengurusiku dan urusan rumah lainnya. Ibu jelas senang. Dia menjadi nyonya rumah lagi, meski aku seratus persen tak setuju dia menikah dengan Saoto. Hanya  saja apa kekuatan seorang anak di hadapan ibu yang sedemikian radikal?

Saoto yang pada awalnya baik kepadaku, perlahan suka berbuat kasar. Ketika ibu ada, dia bermuka dan mulut manis. Sebaliknya saat ibu tak ada dia seakan harimau yang siap mengerkah hatiku kapan saja. Maka itu aku lebih betah di sekolah, kemudian bertandang di rumah teman sepulangnya.

Tak tahan diperlakukan seorang ayah tiri yang kasar, aku mengadu kepada ibu. Jawaban darinya ternyata sangat tak menyenangkan. Dia malahan menyalahkanku yang tak bisa mengambil hati Saoto. Menurutnya, Saoto adalah ayah yang cukup baik bagi diriku.

Akhirnya kucoba bersabar diperlakukan tak nyaman oleh ayah tiriku. Hingga ketika duduk di bangku SMA dan badanku mulai ranum, sikap Saoto drastis berubah. Dia mulai ramah, bahkan sangat ramah kepadaku. Terutama keramahan mata yang keterlaluan manakala ibu tak ada di rumah. Aku takut terjadi apa-apa kepadaku seperti yang pernah dialami Patty (nama samaran temanku). Dia diperlakukan ayah tirinya tak senonoh. Belum lagi Iin (nama samaran temanku) ketaksenonohan ayah tirinya membuatnya hamil. Apakah aku harus mengalami nasib sama, kemudian kehilangan seluruh masa depanku?

Kembali aku mengadu kepada ibu tentang sikap Saoto. Sekali itu ibu emosi. Dia langsung berbicara empat mata dengan Saoto. Hasilnya, sebulan kemudian mereka bercerai. Aku tak tahu apakah aku senang atau tidak. Memang aku telah terlepas dari cengkeraman seorang ayah tiri yang kurang ajar, tapi aku harus bersiap-siap menerima ayah tiri baru yang belum tentu lebih baik dari Saoto. Ibu pasti tak tahan menjanda. Saat memiliki suami saja, dia berselingkuh. Apalagi ketika menjadi single parent.

Pilihan ibu adalah pindah kembali ke kota PS. Bagaimana pun dia tak ingin kami sengsara di kota S. Masa yang lumayan lama hengkang dari kota kelahiranku itu, tentu telah melupakan orang-orang tentang perilaku ibu.

Kami mengontrak rumah di bilangan pinggiran kota. Keahlian ibu membuat pecal dan gado-gado, pun dijadikan senjata menarung hidup. Artinya ibu membuka warung lagi. Sementara aku mulai bersekolah dengan tenang. Harapanku tak ada lelaki yang mencoba mengganggu ketenangan hidup kami.

Kiranya harapan demi harapan harus ditumpuk di pembakaran kemudian dibakar. Diam-diam ibu berhubungan dekat dengan lelaki yang lebih muda darinya. Meski tak pernah melihat mereka bermesraan berdua, tapi cerita teman-temanku bisa dijadikan acuan. Teman-temanku sering melihat ibu dan pasangannya berjalan berduaan di mal-mal atau supermarket. Kejadiannya jelas di hari minggu. Karena hari minggu ibu tak berjualan. Dia akan membuat berbagai alasan kepadaku agar bisa pergi dengan pasangannya. Misalnya hendak ke rumah kerabat, berbelanja kebutuhan warung dan bla...bla...bla....

Tak tahan dengan cerita tak sedap tentang ibu, belakangan aku membuka suara. Aku protes terhadap tingkahlakunya yang memalukan. Hasilnya aku dimarahi. Dia menganggapku mengganggu eksistensinya sebagai single parent.

Lama kami sediaman. Akhirnya aku merasa berdosa. Aku meminta maaf kepada ibu. Bahkan berjanji menyokong rencana-rencananya bila itu demi kebaikan hidup kami. Tapi berkaitan dengan ayah tiri baru, aku sudah muak. Aku tak ingin ibu menikah lagi.

Berbulan berjalan. Bertahun terlewati. Tingkahlaku ibu bukannya membaik. Usaha warung pecal dan mie goreng hanya sempalan. Selebihnya ibu lebih disibukkan dengan lelaki-lelaki muda yang silih berganti menemaninya. Terkadang itu kudapat dari informasi teman. Lebih parah lagi, sekali-dua aku memergoki ibu dan lelaki muda berjalan bersama. Alasan ibu itu hanya untuk bisnis dan melancarkan uang masuk ke kas rumahtangga.

Hingga sekarang aku tak bisa lagi mengingatkan ibu supaya berhenti dengan kegiatannya yang memalukan itu. Mengingatkan sekali saja, ibu bisa marah sampai berbulan. Aku tak ingin dicap sebagai anak durhaka. Oh, Tuhan. Aku tak tahu sampai kapan ibu sibuk dengan kegiatannya yang memalukan itu.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun