Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjuangan Hidupku Berakhir Bahagia

10 Juli 2019   08:22 Diperbarui: 10 Juli 2019   08:25 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilusttasi : nergise.me

Berbilang tahun lalu, aku merasa perjalanan hidupku ditakdirkan menjadi orang yang amat menderita. Bagaimana tidak. Saat usiaku menginjak lima tahun, sebuah penyakit yang menggerogoti paru-paru ibuku, membuat dia bergegas menghadap sang Khalik. Aku pun ibarat layang-layang yang putus benang. Terbang ke mana angin berhembus tanpa berani menentukan arah. Sementara di hitungan lima bulan setelah meninggalnya ibu, ayahku menghadiahiku seorang ibu tiri.

Hatiku memberontak. Walaupun bayang-bayang kekejaman seorang ibu tiri tak pernah kulihat dari tindak-tanduknya, namun kehadiran ibu baru di keluarga kami, membuat perhatian ayah lebih banyak tersita kepada dia ketimbang aku. Aku menjadi binatang liar, terbiar hendak ke mana mengadu kesusahan.

Kedukaan demi kedukaan semakin terasa memasuki luka hatiku. Hingga saat usiaku menginjak limabelas tahun, semua pegangan hidupku, seketika punah. Ayahku mengalami kecelakaan lalulintas sepulang bekerja dan langsung meninggal di tempat. Itulah yang memaksaku untuk dapat menikmati bagaimana tinggal berdua dengan seorang ibu tiri yang sebelumnya tak menunjukkan tabiat buruk.

Tapi ternyata itu hanyalah kamuflase. Tak sampai berbilang bulan sejak meninggalnya ayah, ibu tiriku mulai menganggapku sebagai anak liar. Dia membebaskanku hendak ke mana pergi. Hanya saja ketika hari malam, atau tiba waktunya makan, dia memaksaku harus sudah sampai di rumah. Bila tidak, bersiaplah menerima konsekuensi tak diberi makan selama sehari penuh.

Hatiku meradang. Belakangan di usia enambelas tahun, aku bertekad terbang ke kota J. Aku ingin menarung hidup di kota yang kata orang sangat ganas itu, dengan mengikuti jejak Pak O (nama samaran) yang katanya sudah sukses di sana. Berbekal sedikit uang tabunganku, aku pun menumpang sebuah bus malam, dan tiba di kota J dengan gamang. Untunglah Pak O sudah mengetahui kabar kedatanganku. Dia sudah menunggu di terminal, kemudian mengenalkan kepadaku bagaimana sebenarnya hidup.

Aku terperengah. Betapa hidup ini memang keras dan sukar ditaklukkan. Pak O bukanlah seorang sukses seperti gambaranku. Memang dia sudah memiliki sebuah rumah di pinggiran kota dengan kondisi kumuh, dan tak layak disebut rumah. Tapi pekerjaannya sehari-sehari selalu bertaruh dengan bahaya. Dia seorang bromocorah. Lelaki yang kerap keluar-masuk penjara. Entah berapa orang yang sudah menyumpah-nyumpah atas kelihaian tangannya yang copet itu. 

Pak O mengatakan kalau memang ingin hidup berkecukupan, begitulah cara tercepat, meski bukan cara termudah. Mengingat dia bukanlah seseorang yang pernah mengenyam pendidikan. Tak jauh beda denganku, yang sudah mengenyam pendidikan, tapi putus sekolah karena kurang biaya.  

Aku tak ingin mengikuti jejaknya. Dia menanggapi dengan tertawa, lalu memberikanku pinjaman uang untuk berdagang asongan. "Kita lihat apakah kau bertahan menjadi orang baik-baik, atau harus menggadaikan kebaikan itu dan menjadi bajingan berduit seperti aku," katanya kala itu sehingga membuat isi perutku bergolak. 

Nyatanya aku hanya bertahan nyaris sebulan menjadi pedagang asongan. Aku tak tahan berebut pembeli di terminal dan bis-bis kota sebab selalu berujung pertengkaran dan pemukulan. Lagi pula banyak pembeli yang mengutang. Begitu aku menagih pembayaran, mereka ternyata lebih garang dariku.

Pak O kesal. Dia menganggapku bukanlah seorang perantau yang tangguh. Dengan berat hati, dia akhirnya menganggap hutangku lunas. Dia memberikan uang yang cukup mengongkosiku pulang ke kampung. Oh,Tuhan. Betapa malunya hatiku. Betapa tak kuasa melihat wajah ibu tiri yang melihat si anak hilang pulang dengan tak membawa harta sedikit pun, selain wajah memelas dan gambaran kerugian yang segera merongrongnya. Begitupun aku harus tabah. Sepedas apa pun kata-kata yang terlontar dari mulutnya, meski kuterima. Aku tak boleh mengalah. Aku masih memiliki hak atas rumah peninggalan mendiang ayah.

Gambaran yang menggerayangi alam pikirku memang terbukti. Sambutan tak sedaplah yang ditunjukkan ibu tiriku. Sindiran demi sendiran yang membuat hatiku sakit. Tapi aku tetap berusaha menahan emosi yang menggelegak dada. Sekali saja aku marah, bisa saja ibu tiriku mengusirku dari rumah itu. Kalau pun tak berhasil, dan akhirnya dia yang minggat, toh apalah dayaku melewati hari-hari tanpa penghasilan. Apakah aku harus makan batu? Sementara di kantongku tak tersisa sepeser uang pun.

Aku akhirnya tinggal bersama ibu tiri dengan menahan perasaan. Aku dijadikan ibarat babu sampai berbilang bulan. Ketika tak sanggup menahan semua deraan, aku menghilang dari rumah, kemudian tinggal di rumah teman (sebut saja namanya Sob). Di situlah aku memulai menjalani profesi baru menjadi pembantu tukang salon. Kebetulan di depan rumah temanku itu memang ada salon.

Dari menjadi pembantu, aku mulai mencoba mempelajari bagaimana caranya memotong rambut dan membuatnya menjadi gaya. Bagaimana creambath dan segala pernah-perniknya. Hingga tak sampai setengah tahun bekerja, aku telah bisa memotong rambut, dan berpenghasilan sedikit mencukupi. 

Sebagai anak yang tak ingin melukai hati seorang ibu tiri, aku memberikan sedikit penghasilanku kepadanya. Wajahnya yang sebelumnya selalu masam melihatku, jadilah berubah sedikit cerah. Bahkan dia mengatakan bahwa pintu rumah masih terbuka untukku. Tapi kutolak halus. Aku tak ingin hubungan kami yang mulai membaik, tiba-tiba merenggang oleh percik-percik pertengkaran yang mungkin timbul.

Lebih setahun bekerja di salon, tiba-tiba aku merasa ada yang kurang nyaman di lingkungan kerjaku. De (nama samaran), pekerja baru dan lelaki yang keperempuan-perempuanan itu, sering membuatku risih. Dia selalu menggodaku. Bahkan tak jarang menawarkan diri menjadi kekasihku. Aku tentu menolak. Tapi tetap saja was-was menderaku. Setahan-tahannya aku melawan godaannya, pastilah luluh kalau dihantam terus-terusan. Dan aku tak ingin kelak berubah menjadi lelaki yang bukan perempuan seperti dia. Pilihan terakhir pastilah mengundurkan diri dari salon itu.

Aku mengutarakan rencanaku kepada Sob, sehingga dia kelabakan. Dia menyayangkan bila aku benar-benar berhenti bekerja di situ. Sebab pelanggan mulai banyak. Lagian, mau bekerja di mana lagi aku setelah menganggur. Apakah tetap menjadi tukang salon? Tukang salon butuh tempat, butuh perangkat, butuh relasi.

"Jadi kau senang bila kelak namaku berganti Shanti?" ucapku kala itu seperti bercanda.

Sob memberikan pilihan terbaik, yakni meminjamiku uang untuk usaha. Perkara tempat, biarlah di rumahnya saja. Mengenai akan timbulnya persaingan dengan salon tempatku bekerja sebelumnya, menurut Sob wajar-wajar saja. Setiap orang berhak berusaha sesuai kemampuannya. Hidup memang selalu penuh persaingan.

Sekian tahun berlalu, sekarang usaha salonku sudah lumayan maju. Sementara ibu tiriku telah menikah lagi. Hanya saja aku tak ingin mempermasalahkan bila dia tinggal di rumah ayahku berdua suami barunya. Biarlah mereka hidup nyaman. Toh, aku sudah berkecukupan juga. Aku juga tak ingin kesusahan hidup yang kualami dirasakan oleh ibu tiriku. Semoga ke depannya semua berjalan baik-baik.

-----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun