Aku akhirnya tinggal bersama ibu tiri dengan menahan perasaan. Aku dijadikan ibarat babu sampai berbilang bulan. Ketika tak sanggup menahan semua deraan, aku menghilang dari rumah, kemudian tinggal di rumah teman (sebut saja namanya Sob). Di situlah aku memulai menjalani profesi baru menjadi pembantu tukang salon. Kebetulan di depan rumah temanku itu memang ada salon.
Dari menjadi pembantu, aku mulai mencoba mempelajari bagaimana caranya memotong rambut dan membuatnya menjadi gaya. Bagaimana creambath dan segala pernah-perniknya. Hingga tak sampai setengah tahun bekerja, aku telah bisa memotong rambut, dan berpenghasilan sedikit mencukupi.Â
Sebagai anak yang tak ingin melukai hati seorang ibu tiri, aku memberikan sedikit penghasilanku kepadanya. Wajahnya yang sebelumnya selalu masam melihatku, jadilah berubah sedikit cerah. Bahkan dia mengatakan bahwa pintu rumah masih terbuka untukku. Tapi kutolak halus. Aku tak ingin hubungan kami yang mulai membaik, tiba-tiba merenggang oleh percik-percik pertengkaran yang mungkin timbul.
Lebih setahun bekerja di salon, tiba-tiba aku merasa ada yang kurang nyaman di lingkungan kerjaku. De (nama samaran), pekerja baru dan lelaki yang keperempuan-perempuanan itu, sering membuatku risih. Dia selalu menggodaku. Bahkan tak jarang menawarkan diri menjadi kekasihku. Aku tentu menolak. Tapi tetap saja was-was menderaku. Setahan-tahannya aku melawan godaannya, pastilah luluh kalau dihantam terus-terusan. Dan aku tak ingin kelak berubah menjadi lelaki yang bukan perempuan seperti dia. Pilihan terakhir pastilah mengundurkan diri dari salon itu.
Aku mengutarakan rencanaku kepada Sob, sehingga dia kelabakan. Dia menyayangkan bila aku benar-benar berhenti bekerja di situ. Sebab pelanggan mulai banyak. Lagian, mau bekerja di mana lagi aku setelah menganggur. Apakah tetap menjadi tukang salon? Tukang salon butuh tempat, butuh perangkat, butuh relasi.
"Jadi kau senang bila kelak namaku berganti Shanti?" ucapku kala itu seperti bercanda.
Sob memberikan pilihan terbaik, yakni meminjamiku uang untuk usaha. Perkara tempat, biarlah di rumahnya saja. Mengenai akan timbulnya persaingan dengan salon tempatku bekerja sebelumnya, menurut Sob wajar-wajar saja. Setiap orang berhak berusaha sesuai kemampuannya. Hidup memang selalu penuh persaingan.
Sekian tahun berlalu, sekarang usaha salonku sudah lumayan maju. Sementara ibu tiriku telah menikah lagi. Hanya saja aku tak ingin mempermasalahkan bila dia tinggal di rumah ayahku berdua suami barunya. Biarlah mereka hidup nyaman. Toh, aku sudah berkecukupan juga. Aku juga tak ingin kesusahan hidup yang kualami dirasakan oleh ibu tiriku. Semoga ke depannya semua berjalan baik-baik.
-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H