Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tak Tabah Menerima Takdir

8 Juli 2019   14:52 Diperbarui: 8 Juli 2019   15:09 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kecil aku tak memusingkan kekurangan parasku. Meskipun berkulit kuning terang, nyaris putih, tapi hidungku mirip biji jambu mete. Aku sering diejek teman-teman dengan sebutan si pesek. Beruntunglah nenek membesarkan hatiku. Pesek itu pemberian dari Tuhan, katanya. Itulah yang terbaik buatku. Yang penting aku sehat dan seluruh anggota tubuhku lengkap.

Kecuekan menghadapai setiap ejekan orang di sekelilingku, nyatanya hanya bertahan sebatas aku sekolah SMP. Namun menginjak bangku SMA, aku mulai risih. Aku tak enak hati melihat seorang dua teman perempuanku ditaksir lelaki lain. Bahkan ada juga yang mulai serius pacaran. Sementara aku, selalu hanya bisa bercermin ketika sedang jatuh cinta kepada seorang pujaan hati. Cinta selalu kupendam diam-diam. Diam-diam memerhatikan setiap gerak-gerik lelaki yang kutaksir. Namun manakala tatapnya bersirobok dengan mataku, aku beranggapan bahwa itu tak sengaja. Nyatanya, tak sekali pun lelaki yang kutaksir berniat mengajakku berbincang lebih lama dan serius. Selain hanya ucapan-ucapan sehari-hari; "Hai! Hallo! Apa kabar? Pe-er-mu sudah siap?"

Aku akhirnya lebih sering mengurung diri rumah setiap kali pulang sekolah atau ekstra kurikuler. Itulah yang membuat mama terheran-heran. Sekali waktu dia mencoba mengajakku berbincang lebih serius. Mengapa di usiaku yang menginjak delapan belas tahun, aku tak menjalani keriuhan berteman seperti menghadiri pesta-pesta, atau berpelesir. Malu-malu kuutarakan bahwa aku tak percaya diri terhadap hidungku yang pesek.

Mama hanya tertawa saat itu. Mama merasa aku seorang gadis pesimis. Papaku nyaris sama sepertiku, berhidung pesek. Buktinya hidung pesek bukan masalah baginya untuk bergaul, memacari mama, menikahinya, sehingga aku lahir di dunia ini. 

Aku lekas membantah. Papa seorang lelaki, jadi tak ada urusan apakah dia berhidung pesek, berwajah bopeng, atau apalah! Lelaki itu tetap diminati cewek.  Bahkan kadang lelaki berwajah sangar malah dicari-cari. Cenderung macho kata teman-teman perempuanku.

Akhirnya sama saja, aku tak bisa lepas dari keterasingan. Aku merasa bukan pemilik asli hidung pesek. Tuhan tak adil, Kenapa sebagai perempuan aku dianugerahi hidung pesek?

Di masa kuliah, kondisi yang kualami bertambah parah. Banyak mahasiswi yang cantik, dan barangkali senang mengejek. Terkadang mereka bisik-bisik sambil melirik ke arahku. Aku yakin mereka mengatai-ngatai hidungku. 

Saat itulah tak dinyana seorang mahasiswa cukup tampan mencoba mendekatiku. Dari sekadar berteman, dia mengatakan jatuh cinta kepadaku. Jelas saja hati ini berbunga. Tak sampai sebulan berteman, akhirnya kami jadian. Aku senang. Ternyata meski berhidung pesek, aku berhasil juga mendapat pasangan yang mengagumkan.

Kami menjalani masa berpacaran hampir tiga bulan. Hingga terbongkarlah rahasia bahwa sebenarnya lelaki itu hanya memperalatku. Dia tak murni mencintaiku. Dia mencintai uangku, karena selama kami berpacaran, akulah yang membayar segala biaya jalan-jalan, menonton, makan-makan. 

Awalnya aku tak menyangka dia memperlakukanku demikian. Tapi Erin (nama samaran sepupuku) yang satu universitas denganku, membocorkan bahwa lelaki itu hanya ingin memoroti uangku. Buktinya ketika selidik punya selidik, akhirnya aku berhasil mendengar dia mengumbar omongan di depan teman-teman lelakinya saat berada di kantin. Aku menguping dia terbahak-bahak. Dia mengatakan senang berjalan denganku bukan faktor cinta. Hanya faktor uang. "Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta kepada perempuan berhidung lucu itu?"

Cukup sudah aku dipermalukan. Begitu aku memutuskan cinta dengannya, aku tiada peduli meski dia meminta maaf dan tetap ingin bersamaku. Bagaimana mungkin aku mau terjebak di kubangan sama?

Lama juga aku terbebani perasaan galau setelah putus cinta dengan lelaki itu. Aku tak bergairah kuliah. Mama-papa menjadi sedih. Apalagi tubuhku kelihatan bertambah kurus. 

Tak dinyana, ketika iseng-iseng sendirian ke mall, aku bertemu dengan Inggid (nama samaran). Aku terkesima. Dulu semasa kami SMP, wajahnya biasa-biasa saja. Hidungnya sedang. Dagunya datar, dan kulitnya sedikit gelap. Hanya saja saat kami bersua, hidungnya berubah mancung, dagunya lancip, dan kulitnya hampir putih cemerlang. Aku saja tak menyangka itu Inggid, kalau dia tidak menyalami, kemudian memelukku erat-erat.

Ternyata Inggid telah sukses di kota J. Aku tak tahu dia bekerja sebagai apa di sana. Yang penting bisa menghasilkan duit banyak. Aku langsung menanyakan kenapa penampilannya begitu jauh berubah. Aku juga ingin seperti dia, terutama merubah hidungku sehingga tak lagi pesek, melainkan mancung.

Dari dialah aku tahu bahwa dia dioperasi oleh seorang dokter. Memang butuh uang banyak demi mewujudkan impian. Tapi tak apalah rugi uang, kalau akhirnya hati terpuaskan.

Menurutnya di kota kami bertebaran juga tempat-tempat operasi kecantikan. Asal saja aku mau keluar uang, sekaligus bisa merawat lebih telaten hasil operasi itu.

Sudah barang tentu aku tergiur. Aku tak ingin terus-terusan minder. Aku ingin bebas bergaul sebagaimana perempuan-perempuan cantik lainnya  Maka setelah mendapat informasi dari temanku itu, aku pun mendatangi sebuah tempat operasi wajah atau lebih tenar disebut orang operasi plastik.

Lumayan tertutup juga lokasinya, karena sebenarnya tempat operasi itu illegal. Hanya saja aku tak perduli. Yang penting aku bisa cantik. Yang penting aku bisa terbebas dari rasa minder.

Belakangan hidungku otomatis mancung. Aku sendiri tak menyangka bisa berubah sedemikian drastis. Berulang-ulang aku bercermin  di kamar rumahku. Apakah itu aku? Mama-papa malahan menjerit ketika melihat penampilan baruku. Mereka protes karena aku telah merusak pemberian Allah. Tapi semua kucuekkan. Kalau aku tetap bertahan dengan hidung pesek, sampai kapan aku bisa bertahan dengan rasa minder?

Berbilang minggu berselang, ternyata runyam juga mengurusi hidung operasi plastikku. Aku harus rutin berkonsultasi dengan orang yang mengoperasiku. Aku harus hati-hati menjaga hidungku agar tak terlalu sering terkena panas, agar jangan berulang-ulang dipegang apalagi dipencet. Ya, tapi aku harus sabar. Hasil yang kudapatkan dari operasi plastik itu, pun memuaskan. Yakni orang-orang terkagum-kagum kepadaku. Mereka pangling. Aku merasa teman-teman kuliah tak lagi menjauhiku, termasuk yang lelaki.

Tapi apa yang terjadi setelah setengah tahun berselang? Karena kurang telaten merawat hidung, tiba-tiba hidungku infeksi. Hidungku langsung membengkak. Begitu aku konsultasi ke orang yang mengoperasi hidungku, dia angkat tangan. Dia mengatakan infeski yang terjadi akibat aku tak hati-hati merawat hidungku. Jadilah aku harus berobat ke dokter kulit. Aku harus keluar banyak demi melakukan terapi dan membeli obat-obatan. Bahkan sampai sekarang, aku masih rutin berobat. Sementara hidungku tetap membengkak. Kelihatan jelek, bahkan lebih jelek dari hidung pesekku dulu. Tapi apa mau dikata, penyesalan selalu datang terlambat. Tinggal sekarang aku harus menyesali diri yang tak mau menerima ikhlas pemberian dan takdir dari Allah SWT.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun