Perjumpaan pertama setelah hampir lima tahun kami tak bersua, membuat hati ini tak nyaman. Padahal seandainya kami bertemu di luar sana, dan bukan di rumahku, pasti aku senang bukan kepalang. Ah, terpaksa kubunuh gelenyar di dada. Hengky (nama samaran) kiranya telah menjadi kekasih Inggit (nama samaran kakakku). Mereka baru menjalin kasih sekitar sebulan. Hengky yang sebelumnya bekerja nun di seberang pulau, dimutasikan ke kota kami. Saat itulah dia dan Inggit memadu kasih, karena kantor mereka memang bersebelahan.
Seperti kondisiku, mungkin hati Hengky juga tak nyaman. Semasa kuliah, dia adalah kakak kelasku di fakulas ekonomi. Kalau boleh narsis, kami berdua adalah orang-orang brilian yang memiliki wajah fotogenik. Pantas saja kami menjadi idola. Dia  menjadi rebutan para perempuan, dan aku disibukkan oleh lelaki-lelaki yang kebanyakan tak tahu malu.
Sebetulnya aku memendam rasa suka kepada Hengky. Setiap kali melihatnya, mataku tak bisa diajak berkedip. Berulang teman-teman mengejutkan, kemudian menggodaku sehingga pipi ini panas. Mungkin oleh sebab tingkahku itulah, Hengky merasa mendapat lampu hijau. Suatu hari dia nekad mengungkapkan isi hatinya kepadaku.
Jujur, meskipun menaruh hati kepada Hengky, aku belum memiliki kekuatan untuk bersedia menjadi kekasihnya. Aku malu. Tubuhku merinding. Seumur-umur, aku belum pernah mencecap apa yang namanya pacaran. Itulah penyebab aku bergelar sebagai si gunung es.
Entah sebal menunggu jawabanku, atau karena sebab lain, tiba-tiba Hengky menjauh dariku. Kabar berikutnya dia berpacaran dengan seorang perempuan berjilbab dari fakultas pertanian. Pupus sudah harapanku. Aku menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan menjadi kekasih sang lelaki idola.Â
Meski masih berharap suatu waktu Hengky masih bersedia meraih cintaku, namun semua hanya angan-angan. Setamat kuliah, dia hengkang ke pulau seberang menemui pamannya. Dia diterima bekerja di sebuah instansi pemerintahan.
Sedangkan aku, saat meraih gelar sarjana, diterima bekerja di sebuah perusahaan jasa. Bayang-bayang wajah Hengky lamba-laun menghilang. Timbunan pekerjaan di kantor, serta berbagai persoalan yang harus diselesaikan di rumah, selanjutnya menghilangkan ingatanku tentang sosok seorang Hengky. Hingga tiba-tiba dia muncul mengejutkan, sekaligus membuat diri ini gugup.
Kami sempat beramah-tamah, meski terasa kaku. Aku yang tak ingin dicurigai Inggit sedang mencoba merebut hati pacarnya, belakangan menghentikan keramah-tamahan itu. Kututup pintu hati untuk Hengky apabila dia datang sebagai calon pacar. Kubuka pintu hatiku lebar-lebar apabila dia muncul sebagai calon abang ipar.
Aku kembali bisa menenangkan perasaan. Buat apa  mengenang masa lalu yang pasti memperkeruh suasana. Aku semestinya bersyukur, Inggit akhirnya bisa mendapatkan kekasih serupa Hengky. Inggit sudah berumur. Keinginan seluruh keluargaku, dia bisa menikah lebih cepat. Lalu, kenapa aku haru mengotorinya dengan kenanganku yang cengeng bersama Hengky?
Ternyata harapanku agar perjalanan cinta Hengky dan Inggit tak mendapat halangan berarti, kiranya jauh panggang dari api. Saat aku bersantap sendirian di restoran cepat saji, mendadak seorang lelaki menepuk pundakku. Aku terkejut. Ternyata dia adalah Hengky. Dia langsung menarik kursi, kemudian duduk di seberangku.
Andaikata dia hanya membicarakan yang umum-umum semisal rencana pernikahannya dengan Inggit, aku bisa bersikap lebih rileks. Tapi ini, dia hanya membuka kenangan lama yang seolah mencekik leherku. Dia mengatakan masih memendam cinta yang dalam terhadapku. Dia utarakan ingin menjadi kekasihku. Ingin mengajakku melangkah ke mahligai bernama keluarga.
Jelas saja aku menolak keras. Aku mulai mencoba menghindari setiap pertemuan dengannya. Hanya saja dia bagaikan bayangan. Ke mana aku pergi, entah darimana dia muncul tanpa diduga. Dia memiliki bermacam trik untuk melumpuhkanku. Misalnya, ketika aku sedang berbelanja, dia bela-belain mengangkat barang belanjaanku. Ketika mobilku ngadat di jalan, dia muncul bak pahlawan mereperasi mesin mobil. Ketika aku sedang kebingungan mencari alamat rumah teman, dia juga muncul dan berubah sebagai penunjuk jalan.
Oh, Tuhan. Ternyata pertemuan demi pertemuan, membuat hatiku tercuri. Aku mulai melupakan siapa Hengky. Aku tak lagi memikirkan hati Inggit. Cinta yang layu dan mati, bertunas kembali. Hengky pandai memanfaatkan situasi. Dengan rayuan mautnya, aku mengiyakan menjadi pacarnya.Â
Maka bagaikan menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring, aku mulai menjalani percintaan terselubung. Ibaratnya kucing-kucinganlah. Inggit yang memang bukan perempuan pencemburu, menganggap semuanya aman-aman saja. Padahal tanpa dia sadari, kemunculan Hengky di rumah kami, lebih sering hendak menemui aku.Â
Barulah kurasakan kenikmatan bercinta untuk yang pertama kali. Hengky benar-benar sanggup membuatku bagai ratu. Dia pandai merayu. Dia sangat memahami bagaimana membuat perempuan menjadi senang, sampai merasa narsis sendiri. Namun dalam balutan uforia cinta, aku memikirkan keseriusan hubungan kami. Bagaimana pun kami tak mungkin berpacaran terus. Suatu saat aku dan Hengky harus menikah, memiliki anak-anak yang manis dan lucu dan membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia.Â
Sayangnya aku sangat ragu semua harapanku bakal terwujud. Bagaimana perasaan Inggit manakala aku dan Hengky menikah? Bila kami akhirnya kawin lari, apakah aku tega meninggalkan kedua orangtua dan Inggit yang menyayangiku? Lagian ketika kusinggung masalah pernikahan dengan Hengky, wajah lelaki yang kucintai itu langsung memucat. Seperti aku, dia tak sanggup memecahkan persoalan yang menghalangi niat suci kami. Pasti Inggit sakit hati terhadap rencana kami. Pasti kedua orang tuaku menolak keras. Mereka sangat ingin Inggit menikah. Lalu, kalau bukan dengan Hengky, dengan siapa lagi?
Di tengah kebimbangan yang mendera hati ini, tiba-tiba Tuhan membuka mataku. Suatu hari seluruh karyawan di tempatku bekerja, pergi berekreasi ke suatu tempat. Hengky sengaja tak kuajak. Karena sebagian teman kerjaku tahu kalau Hengky sebenarnya kekasih Inggit. Kan bisa bahaya!Â
Saat tiba di lokasi rekreasi, seorang teman menggamit lenganku. Dia menunjuk ke arah seorang lelaki yang sangat aku kenal. Lelaki itu Hengky. Dia sedang berpelukan mesra dengan seorang perempuan yang tak lebih cantik dariku, melainkan lebih seksi. Hatiku jelas bergejolak. Segera kudekati dia dan pasangannya. Aku ingin melabrak mereka berdua. Tapi akhirnya aku yang duluan terperangah. Baru saja aku menyapa, Hengky pura-pura tak mengenalku. Bahkan ketika perempuan itu menanyakan kepada Hengky siapa aku, lelaki brengsek itu mengatakan bahwa mungkin aku salah seorang fansnya. Brengsek!
Sepulang dari rekreasi langsung kuutarakan kepada Inggit bahwa dia harus memutuskan hubungan cinta dengan Hengky. Lelaki itu tak benar. Dia sudah memiliki seorang kekasih. Kuceritakan tentang pertemuan  kami yang tak sengaja di lokasi rekreasi. Tanggapan Inggit dingin saja. Dia hanya menangis sebentar. Kemudian menganggap Hengky memang bukan jodohnya.
Sementara aku selain sakit hati terhadap Hengky, tentu saja merasa bersalah terhadap Inggit. Hanya saja aku bersyukur, di saat cinta bersemi, Tuhan memberikanku kesempatan untuk mengetahui belang lelaki yang pura-pura mengasihiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H